Takdir
Kalimat biasa saja yang barang tentu sudah sering terdengar, "manusia bisa merubah dan atau membuat nasib mereka sendiri", hari-hari terasa menggetarkan buatku. Penyebabnya adalah serial manga One Piece chapter 964. Dan sejak saat itu pula, aku kembali berenang lagi di lautan teologis dan kosmos.
Mengapa masa depan menakutkan? Kalau belum setuju, kita ajukan saja, apakah masa depan menakutkan? Karakter bernama Capone "Gang" Bege itu yang menjawabnya dengan gagah ketika berhadapan dengan musuh yang (dengan sekejap) bisa melihat masa depan, "tidak usah khawatir, kita semua punya kekuatan yang sama untuk merubahnya".
Jelas kita tidak usah takut dengan takdir. Lalu, apa pula itu takdir? Sampai di sini aku malah melihatnya sebagai hal yang tidak penting. Aku harus akui bahwa semboyan American dream cukup berpengaruh dalam pandanganku. Impian takkan pernah hilang untuk itu tidak perlu dibatasi. Sebab sebenar-benarnya dan satu-satunya takdir kita adalah mati. Tidak lebih.
Sudahlah, akui saja kebingungan tentang takdir dan impian. Takdir menjadi menakutkan karena dibekukan degan ukuran yang tidak bebas. Misalnya, kita akan takut kalau takdir kita adalah seorang pelacur. Pertanyaannya, kenapa mesti takut? Jika itu memang takdir, tidak perlu lah disangkal. Di sinilah kesalahan dalam membekukan takdir dalam sebuah ukuran profesi.
Ketika Winston dalam 1984 bergerak di dalam kubangan sosialis yang tertutup, takdirnya cuma satu: bekerja untuk negara. Kita bawa takdir ke cerita yang lain, misalnya takdir seorang petani. Apa yang diusahakannya sehingga dia bisa menjadi petani?Apakah dia tidak bisa memilih pekerjaan yang lain sehingga menjadi petani adalah sebuah takdir?
Salah, itu bukan takdir. Yang aku bicarakan tentang takdir adalah semua sarana yang dilewati oleh garis mimpi. Takdir adalah meja untuk seorang penulis, bisa juga laptop, bisa juga buku. Tak hanya materil, takdir juga emosi, hasrat, dan kehendak. Dengan pengertian takdir semacam ini, mimpi kita jadi logis jika terhalang. Saat-saat seperti inilah kita membutuhkan Gang Bege yang menggelegar.
Aku menawarkan persepsi ini karena manusia tidak lepas dari rasa pengecut dan penakut. Dengan menjadikan takdir sebagai sarana, maka garis mimpi yang dilemparkan manusia adalah sejauh mana mimpi itu bisa berpendar. Ketika matahari bermimpi menyinari bumi, maka bumi yang terang itu bukan takdir. Bumi yang terang itu hasil dari garis mimpi yang menemui suatu takdir bernama bumi.
Sejauh mana garis mimpi matahari berpendar, maka di sanalah takdirnya. Begitulah impian bekerja bersama takdir.
Oleh karena itu, Winston bisa saja berpikir sesat karena takdirnya tidak membiarkan mimpinya bebas. Petani bisa menjadi impian manakala takdir itu dipilih dan dilalui melalui garis impian. Bukan karena petani adalah takdir tapi karena yang dilalui garis mimpi adalah takdir seorang petani. Pelacur bukanlah takdir juga bukan mimpi, karena keduanya tidak diimpikan, juga kita terbebas dari kebekuan ukuran.
Tulisan ini menyebalkan bukan? Memang. Padahal intinya cuma ingin mengatakan jangan menyerah! Bermimpilah! Kejar terus mimpimu!
Mengapa masa depan menakutkan? Kalau belum setuju, kita ajukan saja, apakah masa depan menakutkan? Karakter bernama Capone "Gang" Bege itu yang menjawabnya dengan gagah ketika berhadapan dengan musuh yang (dengan sekejap) bisa melihat masa depan, "tidak usah khawatir, kita semua punya kekuatan yang sama untuk merubahnya".
Jelas kita tidak usah takut dengan takdir. Lalu, apa pula itu takdir? Sampai di sini aku malah melihatnya sebagai hal yang tidak penting. Aku harus akui bahwa semboyan American dream cukup berpengaruh dalam pandanganku. Impian takkan pernah hilang untuk itu tidak perlu dibatasi. Sebab sebenar-benarnya dan satu-satunya takdir kita adalah mati. Tidak lebih.
Sudahlah, akui saja kebingungan tentang takdir dan impian. Takdir menjadi menakutkan karena dibekukan degan ukuran yang tidak bebas. Misalnya, kita akan takut kalau takdir kita adalah seorang pelacur. Pertanyaannya, kenapa mesti takut? Jika itu memang takdir, tidak perlu lah disangkal. Di sinilah kesalahan dalam membekukan takdir dalam sebuah ukuran profesi.
Ketika Winston dalam 1984 bergerak di dalam kubangan sosialis yang tertutup, takdirnya cuma satu: bekerja untuk negara. Kita bawa takdir ke cerita yang lain, misalnya takdir seorang petani. Apa yang diusahakannya sehingga dia bisa menjadi petani?Apakah dia tidak bisa memilih pekerjaan yang lain sehingga menjadi petani adalah sebuah takdir?
Salah, itu bukan takdir. Yang aku bicarakan tentang takdir adalah semua sarana yang dilewati oleh garis mimpi. Takdir adalah meja untuk seorang penulis, bisa juga laptop, bisa juga buku. Tak hanya materil, takdir juga emosi, hasrat, dan kehendak. Dengan pengertian takdir semacam ini, mimpi kita jadi logis jika terhalang. Saat-saat seperti inilah kita membutuhkan Gang Bege yang menggelegar.
Aku menawarkan persepsi ini karena manusia tidak lepas dari rasa pengecut dan penakut. Dengan menjadikan takdir sebagai sarana, maka garis mimpi yang dilemparkan manusia adalah sejauh mana mimpi itu bisa berpendar. Ketika matahari bermimpi menyinari bumi, maka bumi yang terang itu bukan takdir. Bumi yang terang itu hasil dari garis mimpi yang menemui suatu takdir bernama bumi.
Sejauh mana garis mimpi matahari berpendar, maka di sanalah takdirnya. Begitulah impian bekerja bersama takdir.
Oleh karena itu, Winston bisa saja berpikir sesat karena takdirnya tidak membiarkan mimpinya bebas. Petani bisa menjadi impian manakala takdir itu dipilih dan dilalui melalui garis impian. Bukan karena petani adalah takdir tapi karena yang dilalui garis mimpi adalah takdir seorang petani. Pelacur bukanlah takdir juga bukan mimpi, karena keduanya tidak diimpikan, juga kita terbebas dari kebekuan ukuran.
Tulisan ini menyebalkan bukan? Memang. Padahal intinya cuma ingin mengatakan jangan menyerah! Bermimpilah! Kejar terus mimpimu!
Comments
Post a Comment