Apakah AsyikTinggal di Negara Komunis?
Aku agak terusik membaca twit Sujiwo Tejo yang menyebut, berdasarkan pengalaman temannya, Korut itu asyik banget (28/4/2017). Dia menyebut pengetahuan tentang Korut selama ini didominasi oleh pers Barat. Perbedaan ideologi ini dianggapnya akan melaporkan pemberitaan yang menjelek-jelekkan Korut. Dalang nyentrik ini juga menyebut Korut mungkin negara yang baik. Dan di sanalah tentu aku jadi agak nyinyir.
Ada apa dengan Korea Utara?
Yang kemudian kulakukan adalah membuka kembali buku Jejak Mata Pyongyang karya Seno Gumira Aji Darma. Buku berisi pengalaman ketika mengunjungi Korut tahun 2002 ini kudapatkan dari diskon buku murah seharga 17.000. Tentu saja tak ingin kusia-siakan.
Buku ini ditulis berdasarkan pengalaman tahun 2002, tentu perkembangan terjadi. Nah bila buku ini menggambarkan tidak nyamannya berada di negara komunis, apakah tahun-tahun sekarang jadi lebih nyaman? Atau enak seperti dicuit Sujiwo Tejo? Entahah.
Yang kita tahu, saat ini aktivitas Korut sedang tinggi. Beberapa kali uji coba rudal dan pertunjukan kekuatan militer. Yang pasti, kita penasaran dengan negara komunis ortodok terakhir yang mengisolasi dirinya sendiri. Sebab, pengetahuan kita soal Korut hanya pamer kekuatan dan ancaman perang sahaja. Meskipun begitu, sebelum ini, dunia tidak terlalu risau.
Ketika Siti Aisyah yang diduga menjadi intelejen Korut membunuh Kim Jong Nam, putra pertama dari Kim Jong Il, sekaligus kakak tiri dari Kim Jong Un, pemimpin tertinggi Korut saat ini, dunia jadi berisik kembali soal Korut. Entah kasus ini berakhir seperti apa, belakangan, Korut menunjukkan aktivitas yang tinggi dalam memamerkan kekuatan militernya. Secara terbuka, seperti yang diketahui, Korut mengancam Amerika Serikat.
Banyak sekali pemberitaan yang mengkhawatirkan akan meletus perang besar dengan aktor negara komunis paling ekstrim ini. Dan inilah wacana yang seharusnya dibahas, apakah Korut memang seekstrim itu?
SGA menulis buku ini berdasarkan ingatan saja. Disebut ingatan karena dia membuatnya sepuluh tahun setelah kunjungannya di tahun 2002. Namun itu cukup mengingat reputasinya sebagai wartawan cum sastrawan kenamaan Indonesia. Dan tentu saja, apa yang dikatakan Sujiwo Tejo berbading terbalik dengan laporan SGA.
Kesan paling pertama SGA adalah restoran yang tidak bisa memesan sendiri. Jika kita biasa naik turun membaca menu juga sesekali memperhatikan harga, di sana ndilalah tidak bisa. Begitu duduk, makanan sudah akan langsung datang sendiri. Komentarku adalah apakah sampai seperti ini kediktatoran itu sehingga makan saja tidak bisa memilih? Sungguh negara yang tidak asik.
Pengalaman ajaib berikutnya adalah kota Pyongyang, ibukota Korut, yang menempatkan tamu negara pada sebuah delta yang dikelilingi sungai. Satu-satunya cara keluar adalah lewat jembatan. Tentu ini fantasi terliar yang benar-benar ada di dunia nyata. Entah delta itu pulau buatan atau alami, yang jelas mekanisme ini sangat keren.
Untuk bagian agama, negara komunis seperti Korut tentu tak memiliki apalagi menganjurkan rakyatnya beragama. Prinsip filosofis gagasan Juche adalah prinsip filsafat-pada-manusia (mn-centered) yang menjelskan posisi dan peran manusia di dalam dunia (hlm. 21). Namun, si penjerjemah cum intel SGA menjelaskan toleransi umat tak beragama pada yang beragama sangat baik. Orang dibebaskan untuk beragama. Di tahun itu, masih ada ekitar 3 persen penganut Buddhisme. Namun, dari cara negara mengatur rakyatnya, SGA menyebut fungsi Tuhan telah digantikan oleh Negara.
Untuk hidup dalam sebuah negara yang serba mengatur, bagaimana dengan rasa cinta? Ternyata, cinta pun sudah diatur negara. Cinta-romantik kepada lawan jenis tidak boleh lebih besar dari cinta-patriotik terhadap tanah air. Ini seperti 1984 atau The Giver ketika perasaan cinta ditekan sedemikian rupa dalam negara distopia. Mungkin perkara cinta adalah yang paling keterlaluan dibanding sifat otoritarian lainnya.
Ketika dunia kini bersesakkan seenaknya dengan foto di akun facebook, twitter, atau instagram, dunia di dalam wilayah negara Korea Utara jadi tidak akan mudah. SGA, entah karena sebagai warga asing, dilarang memotret seenaknya, terutama jika memotret orang. Beberapa kali SGA digelandang dan dimarahi oleh penerjemah sekaligus intelnya karena aksi "seronoknya". Dengan menyebalkan, SGA menjawab dia adalah fotografer bukan wartawan, mengingat Korut sangat membatasi gerak wartawan.
Ketika kebebasan digembar-gemborkan, tapi ternyata di suatu negara kebebasan itu dilarang, rasanya kita akan dibuat gatal. Aku akan menganggap ungkapan Sujiwo Tejo hanyalah bualan saja karena Korut itu semata-mata nyentrik. Ditambah sentimen media Barat pada Korut, lengkaplah sudah anggapannya.
Aku kesulitan melihat perubahan signifikan pada Korut jika melihat gambaran kehidupan di Korut. Perkembangan macam apa jika kebebasan saja sudah susah dilakukan? Pada ranah seni, seniman pun harus mendapatkan doktrin tersebut. Pelukis hanya menggambar tentara dan pemimpin besar mereka. Jujur saja aku prihatin dengan seniman-seniman di sana.
Sujiwo Tejo di sana mungkin akan dipenggal jika dia menggubah seenaknya cerita Dewa Ruci. Untungnya dia tinggal di Indonesia yang, ndilalah, bisalah memperjuangkan kebebasan. Untuk itu, warga Indonesia bebas mendengarkan musik apapun, menggambar apapun, membaca apapun, dan bercinta dengan siapapun. BEBAS itu asyik!
Comments
Post a Comment