Soal Cinta dan Mencerdaskan Bumiputera


Student Hidjo oleh Mas Marco Kartodikromo


Sejujurnya aku tidak tahu banyak tentang siapa itu Mas Marco Kartodikromo. Apa ya, pesta budaya, sastra atau apa gitu, kutemukan selebaran mengenai buku ini. Aku belum tertarik.  Hingga akhirnya aku menemukan nama Fauzi Syukri di sana. Hemm selalu saja.

Aku berlanjut dengan memasukkan namanya pada peramban. Mas Marco kutemukan sebagai seorang wartawan pada zaman Hindia-Belanda. Itu berarti Blora, tempat lahirnya, menjadi kabupaten yang menghasilkan penulis penting lainnya seperti Tirto Adhi Suryo hingga Pramoedya Ananta Toer. Mas Marco juga termasuk orang yang sempat dikaitkan dengan pemberontakan 1928 sehingga membuatnya terasing di Digul. 

Novel ini pada mulanya berbentuk cerita bersambung di Harian Sinar Hindia, lalu menjadi novel pada tahun 1919. Melihat bahwa novel ini adalah karya bumipuetra, apakah segitu hebatnya hingga novel ini bisa terbit di zaman kolonial? 

Aku menyebut novel ini sangat penting. Novel ini melukiskan kehidupan pelajar atau priyayi pribumi degan kisah cinta sebagai pengecoh. Ya, aku pikir novel ini merupakan misionaris yang membesarkan hati pribumi. Pribumi yang diinjak-injak disadarkan manusia itu sama, semacam menyindir dan menentang feodalisme kala itu. Dengan tokoh pelajar, buku ini juga berpotensi sebagai role model lahirnya intelektual pribumi. Aku ingin berandai-andai bila Sukarno yang lahir pada tahun 1901 kemudian membaca buku ini, itu berarti usianya menginjak 18 tahun. Tentu saja aku berandai-andai jika Sukarno membaca novel ini kemudian tergetar hatinya. Andai ya.

Baik.

Cerita bermula ketika ayah Hidjo berencana menyekolahkan Hidjo ke Belanda menjadi ingeniuer. Di saat yang sama, Hidjo telah ditunangkan dengan familinya sendiri yaitu R.A Biroe. Tentu saja ibu Hidjo, Biroe dan ibundanya sangat sedih mendengar rencana ayah Hidjo. Sebab, sekolah ingeniuer membutuhkan waktu hingga tujuh tahun.

Hari keberangkatan tiba, keluarga mengantarkan Hidjo hingga ke pelabuhan Tanjung Priok, Batavia. Kesedihan meliputi perpisahan keluarga Hidjo. Saking sedihnya Hidjo pun menjadi tak doyan makan dan ibu Hidjo mendadak sakit-sakitan.

Karena keadaan ini, ibu Hidjo dan Biroe pergi ke pemandian Barataadem, sebuah tempat untuk berekreasi. Di sana, ibu Hidjo bertemu dengan keluarga regent Djarak, yang salah seorang anaknya merupakan teman Hidjo. Mereka pun berkenalan dan semakin akrab setelah saling tahu Hidjo adalah figur penting bagi kedua keluarga.

Hubungan kedua keluarga menjadi kian dekat setelah keluarga Hidjo menginap beberapa hari di Djarak. Teman Hidjo ketika di HBS, Wardojo, dan adik perempuannya Woengoe, lambat laun juga kian dekat dengan Biroe. Wardojo pun diketahui memendam perasaan kepada Biroe, begitu pula sebaliknya. Sedangkan Woengoe, tak terduga juga memiliki perasaan pada Hidjo yang pernah menginap di rumahnya sewaktu masih siswa HBS. Keadaan ini sebenarnya menjadi cukup canggung, tetapi kedewasaan mereka mampu mempertahankan hubungan kekeluargaan mereka.

Hari dan bulan berganti, Wardojo, Woengoe, dan Biroe bersama-sama mengirim surat kepada Hidjo di Belanda. Selain menanyakan kabar, mereka juga bercerita pertemuan keluarga Hidjo dan regent Djarak hingga akhirnya menginap di Djarak. 

Jauh di Belanda, Hidjo sosok yang selalu serius belajar tak pernah menggunakan waktunya dengan percuma tinggal di rumah kerabat gurunya. Di sanalah dia bertemu Betje, anak tuan rumahnya yang jatuh cinta dengan Hidjo. Betje sebagai wanita yang ekspresif sering menggoda namun Hidjo tak bergeming. Hidjo masih ingat janjinya untuk menikahi Biroe dan nasehat orang tuanya agar tidak macam-macam dengan wanita Belanda.

Suatu ketika, keluarga mengajak Hidjo menonton sebuah opera dengan pertunjukan cerita Faust. Inilah yang perlahan sedikit mengubah hidup Hidjo. Faust merupakan tokoh jenius yang tak pernah berhenti belajar dari muda sampai dia tua. Faust bisa dibilang adalah orang berhati bersih hingga disebut sudah hampir pasti masuk surga. Faust pun juga seorang yang sangat kaya. Tak ada kekurangan dari dirinya.

Suatu hari, Faust tiba-tiba jatuh cinta dengan perempuan yang bersuami. Sungguh hal yang tak bisa dipahami Faust. Berkat bantuan setan, Faust menjadi muda dan tampan hingga bisa mendapatkan perempuan tersebut. Perbuatan Faust akhirnya membuatnya kehilangan kepandaian, kekayaan, bahkan surga. Hal ini kemudian menjadi perenungan Hidjo terhadap hidupnya. Dia tak ingin seperti Faust, dia perlahan mulai lunak pada kegiatan dunia selain belajar. Hubungannya dengan Betje pun semakin dekat.

Selang cukup lama, kedekatan keluarga Hidjo dan regent Djarak ternyata dirasa belum sempurna. Mereka merasa perlu menyambung ikatan keluarga melalui perkawinan. Keluarga Hidjo mengusulkan Hidjo dikawinkan dengan Woengoe sedangkan Biroe dengan Wardojo. Tak disangka regent juga berpikiran seperti itu. Rencana ini ditulis di sebuah surat kepada Hidjo dengan maksud tambahan meminta Hidjo pulang ke Hindia. Surat tersebut diperlihatkan pada Wardojo, Woengoe, dan Biroe. Seketika wajah mereka pun merah padam. Senyum mereka tak mampu disembunyikan.

Surat keluarga telah sampai di Belanda. Hidjo yang membaca surat benar-benar pusing dengan sikap apa yang harus diambil, terlebih Betje ada di sebelahnya. Berhari-hari Hidjo bingung bagaimana memutuskan Betje karena dia lebih memilih cinta sejatinya, Woengoe. Tanpa pengantar, akhirnya Hidjo berpamitan kepada Betje yang diliputi dengan kata-kata”Kalau kamu ke tanah Jawa saya ikut!”.

Pada permukaannya, novel ini memang novel dengan kisah cinta berantai yang rumit. Sistem feodal dengan model perjodohan tampak. Tapi sebenarnya itu adalah kamuflase pesan untuk bangkit bagi para priyayi zaman pergerakan. Hidjo adalah seorang intelektual muda yang menghabiskan ratusan buku agar menjadi ingeniuer. Hidjo berasal dari keluarga golongan menengah kebawah yang menandakan upaya perbaikan hidup melalui pendidikan. Tentu saja ini sangat menginspirasi pemuda-pemuda zaman tersebut yang dikatakan sangat gemar membaca.

Selain itu, potongan cerita hidup Hidjo juga memberi tahu pribumi seperti apa orang Belanda di negaranya. Di sana, Hidjo dapat bertukar posisi sebagai orang yang memerintah orang Belanda, di tanahnya sendiri. Ini secara tidak langsung menyadarkan pribumi bahwa orang Belanda tak lebih tinggi dari mereka. Meskipun di tanah Jawa mereka berlaku sangat tidak manusiawi.

Mas Marco memasukkannya pada sebuah dialog seorang controleur mengecam perbuatan seorang sersan yang berlaku kasar kepada jongosnya. Hal ini diselipkan pada sebuah selebaran yang diberikan oleh controleur kepada sersan tadi dengan judul Bangsa Belanda di Hindia. Selebaran itu membahas bagaimana orang Belanda yang berubah perangainya ketika berada di Hindia. Padahal, orang Belanda yang datang ke Hindia dulunya juga bisa seorang jongos, babu dan sebagainya. Hal ini juga diakui orang Belanda asli ketika mendapati rekannya kembali ke Belanda. Orang-orang ini gila hormat, makanya mereka betah tinggal di Hindia agar bisa berbuat seenaknya. Mengapa bisa demikian?

Perkiraan jawabannya ada dua pokok dari pihak Belanda dan Bumiputera. Dari pihak Belanda, yang pertama adalah pengetahuan tentang Hindia. Pendidikan di Belanda sangat buruk sehingga pengetahuan tentang Hindia hanya luarnya saja seperti beberapa kota besar di Jawa, anggapan orang Jawa masih banyak yang kanibal, hutan dengan binatang-binantang buas, hingga menjadikan Hindia sebagai tempat mencari uang saja. Mereka tidak perlu mengenal penduduk sekitarnya.

Kedua, pendapat mereka tentang Bumiputera. Buruh, jongos, pembantu dan lainnya dianggap berlaku buruk seperti mencuri barang majikannya. Hal ini terjadi generalisasi kepada semua orang bumiputera dan timbulah kebencian kepada warga pribumi.

Dari pihak bumiputera, yang pertama adalah ketakutan kepada Belanda. Selain karena perangainya yang buruk dan menakutkan, bumiputera juga memandang Belanda kelas atas. Ini merupakan sifat orang Jawa yang biasa membedakan kelas sosial. Sedangkan Belanda selalu menang perang, beradalah mereka di posisi atas. Yang kedua adalah faktor bahasa. Oleh hal Jawa memiliki sistem seperti kromo inggil, ini juga dimainkan oleh Belanda. Orang Belanda tidak mau mempelajarinya dan hanya memakai bahasa melayu dan jawa yang rendah. Orang Belanda juga tidak mau diajak bicara bahasa Belanda oleh pribumi karena tidak sistem kelas di bahasa Belanda.

Sejujurnya, aku menduga selebaran inilah yang digunakan untuk membesarkan hati pribumi. Lebih lagi, dialog ini terjadi di antara orang Belanda dengan salah satunya membela pribumi. Novel ini bukan hanya kisah cinta yang rumit, tapi juga pertentangan kelas yang dibuat kabur serta edukasi sejarah kehidupan kolonial. Paling tidak, kita tahu bagaimana novel sejarah yang baik, yang membuat berpikir, yang membuat bergerak, bukan cuma asal angkat senjata!



Judul: Student Hidjo
Penulis: Mas Marco Kartodikromo
Penerbit: Narasi
Tahun Terbit: cet 1, 2010
Halaman dan tebal: 140 hm; 14,5 x 21 cm
Penyunting: Ari Pranowo


Comments

Popular Posts