Diamlah
![]() |
Berdiam di atass Candi Abang, Sleman, Jogjakarta |
Baru saja aku membaca journal milik Eka Kurniawan berjudul Senyap yang Lebih Nyaring. Sangatmenyenangkan, juga sedih, karena berisi informasi berupa fakta sejarah tentang kebisuan penulis-penulis besar di dunia.
Membaca ini sangat menyenangkan karena penulis sepert Gabriel Garcia
Marques dan Mario Vargas Llosa sempat adu jotos. Aku tidak tahu akan sampai
seperti ini jika sastrawan berkelahi. Karena harus diingat keduanya adalah
peraih nobel sastra. Namun, sangat menyedihkan ketika Eka membahas perseteruan
Camus dan Sartre, meskipun juga sedih ketika Mario dan Gabriel akhirnya
berseteru.
Aku sudah lama tahu pertengkaran Camus dan
Sartre. Tapi jika Eka yang bercerita, rasanya jadi sedih. Aku membaca buku
Sartre dan Camus. Aku menghormati keduanya. Aku menggemari keduanya. Rasanya,
tak rela jika memihak salah satu saja. Sebab, alasan mereka bertengkar juga hal
yang bisa dihormati. Yang kusayangkan, sama seperti Eka, adalah ketika kebisuan
yang dipilih.
Sebagai pencerita, kebisuaan tentu menjadi siksaan bagi para pembacanya. Eka bercerita tentang bagaimana obituari Sartre untuk Camus seperti bertanya-tanya buku apa yang sedang dibaca sahabatnya itu. Juga apa komentarnya ketika membaca koran waktu. Ini terasa sangat sedih. Entahlah. Kenapa aku mendadak melow seperti ini.
Sebenarnya, perseteruan antarpenulis di Indonesia juga ada. Penulis besar kebanggan Indonesia, favoritku juga, Mochtar Lubis dan Pramoedya Ananta Toer, bertengkar tak berkesudahan hingga akhir hayat. Ketika aku membaca hasil wawancara dengan Mochtar yang diterbitkan YOI, aku merasa sedih. Pengembalian penghargaan miliknya karena Pram juga memenangkan penghargaan serupa adalah penolakan yang berat di hati. Dalam hati, aku bertanya, kenapa harus seperti ini, Mochtar?
Untuk era sekarang, tentu perseteruan Goenawan Mohamad dan Martin Surajaya yang paling menarik. Aku tidak tahu apakah perseteruan mereka hanya sebatas wacana atau lebih dari itu.Tapi ketika membaca Indoprogress, komentar mereka yang saling sanggah kadang membuatku sedih. Ini melow sekali, ampun deh. Padahal sebenarnya ini hal yang biasa untuk orang yang berkecimpung di dunia wacana.
Jika Mochtar dan Pram kebetulan berada di ruangan yang sama, kira-kira apa yang terjadi ya? Apakah Mochtar akan menghajar Pram yang bertubuh mungil itu? Mochtar tubuhnya tinggi besar lho. Ini mungkin saja terjadi. Gabriel dan Mario saja adu jotos, kok.
Tapi mungkin skenario terbaik adalah ketika mereka diam saja. Tidak merasa mengenal satu sama lain juga boleh saja. Biarkan tulisan-tulisan mereka yang bicara. Toh diskusi sampai berapa lama pun keduanya tidak bisa bersatu. Menyikapi tradisi yang berbeda, satu-satunya cara ya saling menghormati.
Aku teringat kata-kata Pak Soes, adik Pram, soal perseteruan kakaknya dan wartawan legendaris itu. Dia bilang, iri adalah akar permasalahan itu. Aku tidak mau lanjut bertanya, siapakah yang iri, Pram atau Mochtar, karena tentu saja itu percuma. Kata iri sendiri itu saja sudah cukup untuk menggambarkan diam yang tak terkendali.
Tentu kita berharap Pram dan Mochtar duduk satu meja, berjabat tangan, lalu minum kopi sambil mendiskusikan apa saja. Tapi pemandangan indah itu tidak usah saja terjadi. Biarkan mereka saling marah,saling ejek. Kita pakai saja pepatah lama nan klise, marah itu tanda sayang. Maka dari itu, diamlah! Belajar sana! Jika sudah pintar, berantemlah seperti Pram dan Mochtar, Camus dan Sartre, Mario dan Gabriel, juga Goenawan dan Martin. Sebab, kebisingan yang berasal dari kedunguan itu tidak enak didengar dan memalukan!
Ini juga berlaku untuk diriku yang bodohnya minta ampun ini. Apakah aku sebaiknya diam dan belajar saja?
***
Aku jadi berpikir, berapa banyak orang yang sudah kudiamkan? Mungkin ini saatnya untuk bersuara. Mungkin saja ada yang berpikir, apa yang kira-kira sedang kulakukan? Apa yang sedang kubaca? Apa yang sedang kunyanyikan? Mungkin saja, di diam itu, ada orang yang bersuara dengan kecil bertanya di mana Inang?
Comments
Post a Comment