Muak dengan Aktivis Berbuku
Majalah Kentingan edisi 23 bertema Manusia dan Kuasa Makanan terbit Aril silam. Sudah kubaca semuanya dan hampir tidak ada sesuatu yang menarik. Laporan Satya berjudul Tuhan Siaran, Kami Menyimak tidak secantik judulnya. Dia kehabisan ruang untuk bercerita, jadi tidak dalam. Fokut dengan tema makanan juga tidak membuatku betah. Cuma kolom dari Ifa bernudul Perkara Ajang Appresiasi yang ingin membuatku berkomentar dan menuliskannya.
Hampir sama seperti laporan Satya, Ifa terlalu lama berkasak-kusuk, pikiran yang disampaikan hanya di alenia terakhir. Baginya, kesunyian para pembaca dan penulis yang tidak menuntut untuk dikoar-koarkan adalah yang patut dia apresiasi. Terlihat ada muak seturut opini milik Na'im dengan apresiasi yang diselenggarakan BEM, yang tanpa mencantumkan insan berbuku. Sebelumnya, BEM membikin acara apresiasi dengan merilis insan-insan yang patut diapresiasi khalayak kampus.
Ini seperti melanjutkan drama Kentingan vs BEM di Mimbar Mahasiswa Solopos. Aku sendiri sebenarnya sudah muak dengan kampanye berbuku anak-anak, yang justru, buatku, tidak terlihat berbuku. Mereka seperti tidak cerdas dalam menghadapi orang yang tidak berbuku. Hanya menampilkan kesan merekalah mahasiswa berbuku, yang artinya mahasiswa sejati. Seperti melampaui kesan role model BEM, Soe Hok Gie, yang juga berbuku, tapi BEM sendiri tidak berbuku. Sumpah ya.
Anak-anak terlalu sering mendewakan jalan yang mereka pilih. Sekalipun aku setuju manusia haruslah berbuku, tapi tak tega rasanya aku menindas mereka yang belum berbuku. Lagian, manusia beum literer ini juga belum tentu membeli koran. Paling sasaran mereka tahunya dari hasil pindaian mereka di media sosial. Kritik tentang narsisme dalam demo sebenarnya menjalar ke narsime dalam literer.
Aura ini terasa dalam rangkuman singkat percekcokan Kentingan vs BEM. Ketika Ifa mengapresiasi orang berbuku dalam sunyi, sebenarnya dia sendiri tidak lepas dari sunyi itu sendiri. Mengatakan tak berminat pada ajang apresiasi tapi mengapresiasi orang yang berbuku dalam sunyi. Ini sama seperti Na'im, Han, Ujik yang terus menggemborkan buku tapi dengan cara tidak berbuku. Hanya kegenitan mahasiswa yang baru kenal filsafat lalu melihat sesuatu yang tidak beres. Semacam aktivis literasi yang menuntut orang membaca tapi tidak berperilaku sastra yang nyeni. Hanya membuatku ngilu saja.
Mungkin mereka akan menjawab, ya sana tulis di Mimbar Mahasiswa! Sebenarnya, ini juga agak pelik bagiku. Menulis di koran adalah prestasi dan kebahagiaan para calon penulis. Tapi aku tidak ingin melakukannya jika aku masih menulis tidak elegan dan bersifat flamboyan dan nyinyir.
Sebelumnya, ada tulisan dari Bari yang ingin membuatku tertawa. Dia menertawakan anak jurusan Sastra Indonesia yang tidak tahu banyak tentang buku-buku sastra. Bagaimana mungkin pembaca sastra menindas orang lain karena mereka tidak tahu banyak mengenai sastra? Apakah sastra yang dibacanya tidak memberi perspektif kompleks yang membuat pembaca sastra kesulitan menjatuhkan tuduhan?
Para newbie ini memang baru bisa kurasani lewat blog. Bagaimanapun, aku sendiri masih newbie dan tidak tertarik menulis di media massa. Apakah aku seperti Ifa yang suka menempuh jalur sunyi tapi nyatanya juga berisik? Oh tentu tidak. Pemula membincangkan pemula bukan berarti bocah mengencingi bocah lainnya. Bocah ini hanya kencing saja tanpa teriak-teriak ingin pipis, ingin pipis!
Hah!
Ativis literasi terbaik buatku adalah membuat karya dengan baik sehingga manusia nirliterer bisa terhipnotis. Memang ini pekerjaan yang tidak mudah makanya orang literer tidak boleh berhenti membaca. Aku hingga kini tak melihat Muhidin M. Dahlan ngece orang tak berbuku. Yang dia lakukan "cuma" membuat tulisan menarik! Zen RS sejauh pengamatanku juga tidak seperti ini.
Hanya newbie saja yang rese dengan orang tidak berbuku.
Pun juga dengan gelut antara pembaca buku itu sendiri. Tere Liye taek, Romo Mangun okey! Pembaca newbie ya tentu saja membeli Tere Liye yang best seller. Apa yang mereka harapkan dari PNS yang pergi pukul 7.00 pagi pulang pukul 7.00 malam? Ya beli buku yang terkenal!
Tugas aktivis literasi jadi ganda, yaitu mengajak berbuku sekaligus buku yang bermutu. Meski, buku bermutu itu biarkan pembaca sendiri yang menentukan. Sama seperti penulis yang bisa sebebas-bebasnya menulis, pembaca juga harus sebebas-bebasnya membaca. Justru, pengalaman pembaca Romo Mangun bekas pembaca Tere Liye inilah yang konfliknya perlu dipelajari. Bukan Tere Liyenya.
Seballll!
Aku jadi ingat Gus Mus yang membalas tulisan Ulil Absar Abdalla di Kompas. Dia berkata tidak seharusnya Ulil menulis demikian, Pastinya Ulil menulis dalam keadaan marah atau terancam. Nah, sebelum tulisanku ini berisi makian semua, yang justru memperlihatkan ke-newbian-ku, sampai di sini dulu. Cukup.
Comments
Post a Comment