Merayakan Teknikal Dead Metal
Kalimat terakhir mantra dari
Sujiwotejo berjudul Enter the Wall of
Tyronation (Jancuk) terdengar menggelegar, juga agak seram, kemudian
dihajar oleh riff teknikal yang
sangat segar. Interlude ini memiliki
sambungan di lagu kedua Lahir Mata Satir!
Gitar, drum, vocal, bass, semuanya mengocok telinga. Tanpa basa basi, inilah
teknikal death metal kebanggaan kita, Dead Squad!
Tuntas dan dibayar tunai! Lahir Mata Satir tadi jadi salah satu
lirik terbaik yang dibuat Daniel Mardhany sang vokalis hingga saat ini. Untuk menilai bagaimana lirik, tentu harus
memperhatikan tradisi metal itu sendiri. It’s
so exaggerated. Mungkin itu komentar pada lirik band metal yang belum
mengenal tradisinya. Satu hal yang pasti, lirik bekerja berbeda dengan puisi.
Dan Daniel paham hal itu. Efeknya, ketika dilafalkan, lirik bertema jelata yang
melawan penguasa jadi tidak klise. Ini pekerjaan susah, salut untuk Daniel.
Untuk melahirkan riff yang selalu nyantol di kepala,
acungan jempol untuk Stevi Item di lagu Labirin
Epidemi. Barangkali, metalhead tak begitu betah dengan melodi yang
panjang-panjang apalagi menukik-nukik. Yang dibutuhkan adalah ketukan-ketukan
indah sekalipun itu sangat keras. Yang dibutuhkan adalah jingkrakan yang binal,
bukan pekikan gitar. Lagu untuk headbang
paling nikmat di album!
Dewa Budjana yang mengisi Apocalypse
for Sale tampil prima di tengah lagu. Permainan khas Dead Squad yang sering
berubah tempo dimanfaatkan dengan cermat oleh Budjana. Perhentian mendadak itu
cukup mengejutkan karena berbau lebih jazzy.
Sangat berkekelas! Lagu sembrono yang sangat sukses.
Memang seperti itulah harapan
pendengar. Warna yang paling berbeda adalah yang paling indah. Dead Squad
terlihat berusaha keras mengupayakan itu. Menyangkal
Sangkakala adalah protes keras Daniel pada agama. Dari judulnya sudah
terlihat seperti itu. Dogma yang irasional, berdoa yang najis, halusinasi,
penyebar terror, dan sebagainya. Band yang brengsek!
Paling tidak, aksi Andra Ramadhan
yang meluncur kencang jadi atraksi yang memukau. Sekali-kali, Dead Squad memang
harus melakukan ini. Tak perlu khawatir, melodi Andra tidak merusak headbangers. Cukup memberikan sedikit
ruang untuk bernapas, tapi juga kalau tidak terhipnotis oleh aksinya.
Setiap lagu berupaya menampilkan
karakter masing-masing. Pantas jika terjadi beberapa kali penundaan. Tapi untuk
catatan, konsep Dead Squad di album ini masih terkesan bermain aman. Meskipun
memasukkan Budjana dan Andra dan hasilnya sukses, sifatnya yang teknikal itu
membuatnya lebih tampak formal. Bukan band metal yang meledak-ledak.
Tapi kita harus hormati itu. Suguhan
seperti ini memang original milik Dead Squad. Masih banyak band metal bagus
jika ingin mendengarkan yang bebas dan meledak-ledak. Hellcrust, Dead Vomit, Revenge
the Fate, juga yang senior seperti Burgerkill. Lagipula, kematangan permainan
dan materi yang memang dijual. Tidak terkesan komersil.
Untuk permainan, album ini memang
semakin teknikal. Bukan berarti gitar, drum, bass yang mainnya awut-awutan,
tapi porsinya yang semakin pas. Hampir tidak ada permainan Ghorust yang
berlebihan. Semuanya dimainkan sesuai kebutuhan. Tidak ada ketukan yang
habis-habisan dan melelahkan seperti di album Profanatik yang lebih mirip band dengan drum solo yang diiringi
gitar.
Pun juga pada departemen gitar.
Stevi sudah mengurangi gaya patah-patah yang membuat metalhead tertipu, apakah
harus headbang atau loncat. Untuk bass, Alan Musyfa dengan skillnya barangkali
tidak usah dipermasalahkan. Bisa sakit hati. Labirin Epidemi adalah bukti kebengisannya. Untuk departemen vocal,
tampaknya usia sudah mempengaruhi Daniel. Ada perubahan yang sangat mencolok
jika dibandingkan dengan lagu di album Horror
Vision (2011). Scream-nya tidak
setebal dahulu.
semua foto adalah dokumen pribadi |
Mantan personil Coki Bollemeyer juga
urun main dua lagu. Pendengar setia pasti gampang menebak di mana lagu yang
diisinya. Tapi, dari segi permainan, mungkin memang sudah sepatutnya dia cabut.
Coki tidak perlu menanggung terlalu banyak beban. Yang paling menarik,
keluarnya Coki juga menjadi pertanyaan siapa penggantinya.
Di sanalah, Karisk, gitaris lincah yang
berstatus “magang”. Tak mau ketingalan, dia juga ikut dalam produksi album dan
mengisi semua lead gitar selain yang
diisi oleh para tamu.
Satu pelajaran yang pentin didapat
dari album ini adalah harmoni. Musikalitas masing-masing personil yang luar
biasa bisa tersalur dengan rapi. Jika seseorang dibekali dengan talenta seperti
ini, mungkin susah bersatu di sebuah band dream team seperti Dead Squad. Ini
patut diapresiasi.
Tapi, berita duka dengan keluarnya
Ghorust dan Allan setelah beberapa bulan keluarnya album seperti menjadi
antiklimaks. Makanan sudah tersaji, tapi di mana suguhannya? Album ini akan
menjadi album yang berat bagi Dead Squad. Juga perubahan-perubahan di album
selanjutnya.
Comments
Post a Comment