Merayakan Teknikal Dead Metal

Ohmmmmmm, jiaaaancuuk…

Kalimat terakhir mantra dari Sujiwotejo berjudul Enter the Wall of Tyronation (Jancuk) terdengar menggelegar, juga agak seram, kemudian dihajar oleh riff teknikal yang sangat segar. Interlude ini memiliki sambungan di lagu kedua Lahir Mata Satir! Gitar, drum, vocal, bass, semuanya mengocok telinga. Tanpa basa basi, inilah teknikal death metal kebanggaan kita, Dead Squad!

Album Tyranation dianggap sebagai karya kelompok metal yang paling ambisius. Turut menggaet beberapa nama tersohor untuk mengisi beberapa part lagu, album ini sangat dinanti para metalhead. Sebut saja Andra Ramadhan, Coki Bollemeyer, Dewa Budjana, Sujiwo Tejo, bahkan Arie Dagienkz. Sempat tertunda berbulan-bulan lamanya, materi album jadi bayaran bayaran yang tuntas.

Tuntas dan dibayar tunai! Lahir Mata Satir tadi jadi salah satu lirik terbaik yang dibuat Daniel Mardhany sang vokalis hingga saat ini.  Untuk menilai bagaimana lirik, tentu harus memperhatikan tradisi metal itu sendiri. It’s so exaggerated. Mungkin itu komentar pada lirik band metal yang belum mengenal tradisinya. Satu hal yang pasti, lirik bekerja berbeda dengan puisi. Dan Daniel paham hal itu. Efeknya, ketika dilafalkan, lirik bertema jelata yang melawan penguasa jadi tidak klise. Ini pekerjaan susah, salut untuk Daniel.

Untuk melahirkan riff yang selalu nyantol di kepala, acungan jempol untuk Stevi Item di lagu Labirin Epidemi. Barangkali, metalhead tak begitu betah dengan melodi yang panjang-panjang apalagi menukik-nukik. Yang dibutuhkan adalah ketukan-ketukan indah sekalipun itu sangat keras. Yang dibutuhkan adalah jingkrakan yang binal, bukan pekikan gitar. Lagu untuk headbang paling nikmat di album!

Dewa Budjana yang mengisi Apocalypse for Sale tampil prima di tengah lagu. Permainan khas Dead Squad yang sering berubah tempo dimanfaatkan dengan cermat oleh Budjana. Perhentian mendadak itu cukup mengejutkan karena berbau lebih jazzy. Sangat berkekelas! Lagu sembrono yang sangat sukses.

Memang seperti itulah harapan pendengar. Warna yang paling berbeda adalah yang paling indah. Dead Squad terlihat berusaha keras mengupayakan itu. Menyangkal Sangkakala adalah protes keras Daniel pada agama. Dari judulnya sudah terlihat seperti itu. Dogma yang irasional, berdoa yang najis, halusinasi, penyebar terror, dan sebagainya. Band yang brengsek!

Paling tidak, aksi Andra Ramadhan yang meluncur kencang jadi atraksi yang memukau. Sekali-kali, Dead Squad memang harus melakukan ini. Tak perlu khawatir, melodi Andra tidak merusak headbangers. Cukup memberikan sedikit ruang untuk bernapas, tapi juga kalau tidak terhipnotis oleh aksinya.
Setiap lagu berupaya menampilkan karakter masing-masing. Pantas jika terjadi beberapa kali penundaan. Tapi untuk catatan, konsep Dead Squad di album ini masih terkesan bermain aman. Meskipun memasukkan Budjana dan Andra dan hasilnya sukses, sifatnya yang teknikal itu membuatnya lebih tampak formal. Bukan band metal yang meledak-ledak.

Tapi kita harus hormati itu. Suguhan seperti ini memang original milik Dead Squad. Masih banyak band metal bagus jika ingin mendengarkan yang bebas dan meledak-ledak. Hellcrust, Dead Vomit, Revenge the Fate, juga yang senior seperti Burgerkill. Lagipula, kematangan permainan dan materi yang memang dijual. Tidak terkesan komersil.

Untuk permainan, album ini memang semakin teknikal. Bukan berarti gitar, drum, bass yang mainnya awut-awutan, tapi porsinya yang semakin pas. Hampir tidak ada permainan Ghorust yang berlebihan. Semuanya dimainkan sesuai kebutuhan. Tidak ada ketukan yang habis-habisan dan melelahkan seperti di album Profanatik yang lebih mirip band dengan drum solo yang diiringi gitar.

Pun juga pada departemen gitar. Stevi sudah mengurangi gaya patah-patah yang membuat metalhead tertipu, apakah harus headbang atau loncat. Untuk bass, Alan Musyfa dengan skillnya barangkali tidak usah dipermasalahkan. Bisa sakit hati. Labirin Epidemi adalah bukti kebengisannya. Untuk departemen vocal, tampaknya usia sudah mempengaruhi Daniel. Ada perubahan yang sangat mencolok jika dibandingkan dengan lagu di album Horror Vision (2011). Scream-nya tidak setebal dahulu.
semua foto adalah dokumen pribadi

Mantan personil Coki Bollemeyer juga urun main dua lagu. Pendengar setia pasti gampang menebak di mana lagu yang diisinya. Tapi, dari segi permainan, mungkin memang sudah sepatutnya dia cabut. Coki tidak perlu menanggung terlalu banyak beban. Yang paling menarik, keluarnya Coki juga menjadi pertanyaan siapa penggantinya.

Di sanalah, Karisk, gitaris lincah yang berstatus “magang”. Tak mau ketingalan, dia juga ikut dalam produksi album dan mengisi semua lead gitar selain yang diisi oleh para tamu.

Satu pelajaran yang pentin didapat dari album ini adalah harmoni. Musikalitas masing-masing personil yang luar biasa bisa tersalur dengan rapi. Jika seseorang dibekali dengan talenta seperti ini, mungkin susah bersatu di sebuah band dream team seperti Dead Squad. Ini patut diapresiasi.


Tapi, berita duka dengan keluarnya Ghorust dan Allan setelah beberapa bulan keluarnya album seperti menjadi antiklimaks. Makanan sudah tersaji, tapi di mana suguhannya? Album ini akan menjadi album yang berat bagi Dead Squad. Juga perubahan-perubahan di album selanjutnya. 

Comments

Popular Posts