Raja para Berandal
"Maksudku bagaimana kita bisa tahu apa yang kita akan lakukan sampai kita benar-benar melakukannya. Jawabannya adalah, kita tidak tahu. Aku kira aku akan kembali ke sekolah, tetapi bagaimna caranya aku bisa tahu? Sumpah itu pertanyaan bodoh." (hlm. 295)
Di atas adalah kata-kata penutup dari sang karakter utama yang sudah ogah melanjutkan cerita. Si pencerita (si karakter utama) literally sedang menggantung hubungannya dengan pembaca. Dengan sepele dia mengatakan sedang tidak kepingin melanjutkan cerita dan tidak tahu. Sumpah karakter ini bodoh dan brengsek.
Di atas adalah kata-kata penutup dari sang karakter utama yang sudah ogah melanjutkan cerita. Si pencerita (si karakter utama) literally sedang menggantung hubungannya dengan pembaca. Dengan sepele dia mengatakan sedang tidak kepingin melanjutkan cerita dan tidak tahu. Sumpah karakter ini bodoh dan brengsek.
Siapa yang iseng banget menulis cerita bodoh dan brengsek ini? Penulisnya adalah orang brengsek juga, yaitu J.D. Salinger. Sebenarnya tidak hanya brengsek tapi juga wagu, aneh, dan khayal. Kenapa? Soalnya dia penulis jempolan. Tetapi, kelakuannya bikin orang bengong bukan kepalang.
Salinger,
yang di dunia modern ini dianggap sebagai pertapa karena mengurung diri dari
dunia luar, sempat mendapat predikat sebagai penulis kelas atas setelah era
Ernest Hemingway. Salinger dikenal sebagai sosok angkuh yang menutup diri. Tak
banyak novel yang dipublikaskan olehnya, terlepas memang dari
sikapnya yang tertutup. Namun, media meyakini alasan menutup diri yang dia
lakukan masih berhubungan dengan dunia menulis. Hingga ia tutup usia tahun 2010
lalu, tulisannya dianggap sebagai salah satu yang paling pedas. Dan satu yang paling terkenal dan paling berpengaruh: The Catcher
in the Rye.
Novel ini
diterbitkan
pada tahun 1955, sekaligus diseut-sebut sebagai pembaru dalam subgenre tragedi
dengan jalan cerita yang unik, berbeda: keras dan penuh pemberontakan. Untuk tema pembrontakan, hal ini sering dikaitkan dengan pribadi Slainger. Novel kerap disebut representasi dirinya yang murung-menutup diri pada dunia, selain juga kasar dan anti-mainstream, pokoknya hippies banget. Saking tertutupnya
Salinger, buku ini sampai tak ia izinkan untuk dijadikan film. Berbagai produser,
sutradara, hingga artis pernah “mengemis” padanya dan tak satu pun ia gurbris.
Di Caprio hingga James Cameron pernah tercatat sebagai seseorang yang ia
abaikan.
Time menganugerahi novel ini sebai
salah satu dari seratus novel terbaik sepanjang sejarah. Yang paling menarik,
disampul belakang tertulis sebuah pertanyaan: Mengapa buku ini disukai oleh pembunuh?
The Cather
in the Rye bercerita tentang Holden Caulfield, seorang remaja yang baru saja
dikeluarkan dari sekolahnya karena nilainya hancur. Sebenarnya, dia sendiri lah
-secara sadar- yang menghancurkan nilai sekolahnya, kecuali bahasa inggris. Holden adalah remaja bandel yang sering berpindah sekolah dan mendapati tekanan
dalam keluarga, pertemanan, percintaan, dan pikiran-pikiran yang ada dalam
pikirannya.
Novel ini menceritakan hari-hari setelah Holden meninggalkan sekolahnya menuju pengakuan “musibahnya” pada keluarga. Hari-hari ini diisi dengan petualangan di dalam pikirannya yang serba subtil ketika memandang sesuatu. Baginya, semua yang ada di dunia ini serba negatif, betul-betul bocah murung yang bikin geleng-geleng.
Novel ini menceritakan hari-hari setelah Holden meninggalkan sekolahnya menuju pengakuan “musibahnya” pada keluarga. Hari-hari ini diisi dengan petualangan di dalam pikirannya yang serba subtil ketika memandang sesuatu. Baginya, semua yang ada di dunia ini serba negatif, betul-betul bocah murung yang bikin geleng-geleng.
Holden memang begitu, sosok penggerutu ulung yang benci dengan sesuatu yang normal. Tak ada
satu pun kondisi yang luput dari makiannya. Semuanya jelek.
Mungkin saja, memang beginilah kekuatan novel ini. Segala sesuatu yang nampak biasa atau normal bisa jadi adalah hal paling munafik yang pernah manusia lakukan. Bagusnya, Holden menceritakan itu dengan alasan yang tak dibuat-buat dan bisa diterima akal sehat.
Mungkin saja, memang beginilah kekuatan novel ini. Segala sesuatu yang nampak biasa atau normal bisa jadi adalah hal paling munafik yang pernah manusia lakukan. Bagusnya, Holden menceritakan itu dengan alasan yang tak dibuat-buat dan bisa diterima akal sehat.
Tentu itu bagus untuk tabungan perspektif. Selama ini kita selalu diberi tahu seperti apa sampah masyarakat. Masalahnya, kita tidak pernah mendengar langsung pendapat dari yang kita tuduh itu sendiri. Holden memang bocah yang bermasalah. Namun penting melihat segala sesuatu dari perspektifnya. Misalnya, apa gunanya kita mengatakan "senang bertemu denganmu" kalau sebenarnya tidak? Kita sudah terprogram menjadi munafik sejak kalimat pertama dalam berdialog.
Yang paling menyenangkan, setidaknya buatku, ketika membaca
cerita Holden kita diajak melihat sesuatu secara jahat. Kita dipaksa berpikir jahat. Sesuatu yang pasti kita
sendiri pernah melakukannya. Bagiku, ini cara bercerita yang mengesankan karena kita akan dipaksa memiliki standar ganda, yaitu menemukan pikiran jahat, lalu mengeliminirnya. Singkatnya, novel ini melatih kepekaan.
Ada banyak novel yang mengajak berpikir, tetapi berpikir sebagai antagonis?
Meskipun disampaikan dengan gelap, sebetulnya Salinger menggiring pembaca untuk memikirkan sesuatu yang terang. Suatu sisi yang sebenarnya sama namun sering kita redam dalam tabir kemurungan. Untuk anak nakal, banggalah karena kalian tidak sendirian.
Ada banyak novel yang mengajak berpikir, tetapi berpikir sebagai antagonis?
Meskipun disampaikan dengan gelap, sebetulnya Salinger menggiring pembaca untuk memikirkan sesuatu yang terang. Suatu sisi yang sebenarnya sama namun sering kita redam dalam tabir kemurungan. Untuk anak nakal, banggalah karena kalian tidak sendirian.
Sekali lagi penekanan untuk novel ini adalah rasanya yang pedas, jleb dan realistis. Pedas karena cerita ini
ditokohi oleh seorang remaja cerdas yang merasa risih dengan kemapanan yang
begitu dekat dengan kemunafikan. Jleb
karena sosok brandalan lah yang mengungkap kemunafikan itu, dan menjadi
realistis karena mungkin saja inilah yang sebenarnya kita rasakan. Bisa saja
tokoh Holden adalah yang berani mengungkap sisi jahat, pengecut, pendengki,
serakah dan semua hal negatif seorang manusia.
Novel ini
bukan hanya cerita tentang kenakalan, namun juga lengkap dengan sisi
kemanusiaan. Barangkali, tokoh Holden adalah sosok lain yang ada di dalam diri
manusia. Sosok manusia dengan nafsu, bebas berpikir, dan penakut yang mungkin
sering kita tutup-tutupi ada di buku ini. Mungkin ini adalah hal terbesar pada
buku ini ketimbang hal sepele seperti pesan pada anak muda untuk lebih peduli
pada masa depannya. Novel sederhana yang begitu dalam dan menipu.
Satu hal
lagi, kata-kata kasar dalam novel ini adalah ekspresi yang nyata. Dan membuatku jadi sangat suka. Gaya Holden yang bercerita pada pembaca terlihat seperti pelampiasan yang
real. Pembaca yang imajinatif boleh saja menganggap dirinya sebagai teman
curhat Holden. Bagi yang tidak imajinatif, sebaiknya jangan ikuti
pikiran-pikiran Holden. Karena, tunggu-tunggu, jangan-jangan ini alasan para pembunuh?
Judul: The Cather in the Rye
Penulis: J. D. Salinger
Penerbit: Banana book
Jumlah halaman: 295 hlm
Penerjemah: Gita Widya Laksmini
gambar: dokumen pribadi
gambar: dokumen pribadi
14 Januari
2016, 1.23 am
Comments
Post a Comment