Beragama Lewat Hawthorne
![]() |
The Scarlet Letter by Nathaniel Hawthorne |
Saya sudah lama mencari karya Nathaniel Hawthorne. Saya tertarik dengan
novelis-novelis Amerika, terutama sebelum era Mark Twain. Beruntungnya, saya
bertemu dengan The Scarlet Letter di
sebuah bazaar buku murah. Konon, novel ini dianggap sebagai karya terbaiknya,
juga salah satu yang terbaik di Amerika.
Oleh suatu keperluan, saya juga membaca versi bahasa Inggris novel ini.
Dalam versi bahasa Indonesia, saya membaca cetakan pertama dari penerbit Narasi
yang cetak tahun 2015. Sedangkan dalam bahasa Inggirsnya saya pakai versi
Worldsworth Classics tahun 1999.
Ketika memasuki cerita, saya agak cemas novel ini akan gelap seperti panutannya,
Allan Poe. Terlebih, dia juga pernah disanjung oleh Poe dalam ulasannya ketika
menulis dongeng Twice-Told Tales di Graham’s Magazine. Sebelum novel ini
terbit pertama kali di tahun 1850, Hawthorne memang dikenal sebagai penulis
dongeng.
Dari bab pertama, aroma romantik, juga sedikit gotik, sudah terasa.
Ternyata, sangat disayangkan cerita malah “mundur” ke era puritan, di Boston, Massachusetts.
Jujur saja, saya jadi agak malas melanjutkan membaca cerita yang berbau gereja.
Pikir saya, cerita tak akan jauh berbeda dengan Jane Eyre-nya Bronthe yang terbit beberapa tahun lebih awal.
Namun, gaya bercerita yang gamblang dan simpel ternyata malah membuat
betah mata. Ceritanya sederhana, seorang wanita muda bernama Hester Prynne,
menjadi terdakwa kasus perselingkuhan. Seharusnya, otoritas gereja menjatuhi
hukuman mati untuknya. Namun karena kebaikan seorang pendeta, Hester hanya
dihukum cacian di muka umum selama tiga jam (mungkin ini yang mengilhami Orwell
dengan dua menit bencinya). Selain itu, dia juga dipakaiakan baju dengan huruf
A merah di dadanya sebagai symbol pendosa. Ini berarti segala macam cercaan
kaum puritan menjadi legitimasi.
Berdiri menghadapi hukuman, Hester menggendong anaknya, Pearl, yang
berusia tiga bulan. Di sebuah lapangan, di hadapan penduduk kota, Hester
diminta mengungkap kepada semua orang siapa ayah Pearl.
Pendeta muda yang bijaksana, Arthur Dimmesdale, ditugaskan untuk
menanyainya. Anehnya, si pendeta malah tampak ketakutan ketika melihat tatapan
Hester, tak berbuah hasil. “Dan anakku akan mencari ayahnya di surga. Ia tidak
akan menemukan ayahnya di dunia,” tolaknya keras.
Di tengah cemoohan penduduk kota, seorang dokter bernama Roger Chillingworth
muncul. Sosok ini langsung menyegat mata Hester. Pria inilah suami Hester yang
baru tiba dari Belanda. Roger tak menaruh dendam pada istrnya. Justru, dia menyimpannya
untuk ayah Pearl. Roger pun tak mengungkapkan jati dirinya di depan umum dan
menyimpan misi balas dendam.
Dua pria ini, Roger dan Arthur menjadi yang utama dalam pergerakan
novel. Hester memang tidak muncul secara dominan secara terus-menerus. Peran
Hester membuka ruang konflik untuk ketiganya, selain memang buku membahas
dirinya sesuai judulnya.
Secara tersirat, kedua pria ini memiliki masa lalu yang penting dengan
Hester. Dengan keahilan masing-masing, keduanya mendapatkan nama yang baik dan
bersahabat, meski di baliknya saling mencurigai. Bahkan, saling
membongkar/menggali prinsip-prinsip hidup mereka.
Sebagai sahabat, keduanya pribadi yang sangat terbuka, saling bertukar
pikiran. Roger adalah symbol untuk ilmu dunia, sedangkan Arthur adalah ilmu
surga. Liberal dan religius.
Dalam obrolan, terkadang, si pendeta merasa jendela harus dibuka untuk
sesekali mendapatkan udara. Namun udara dingin itu terlalu dingin untuk dihirup
dengan nyaman. Sehinggga pendeta muda dan dokter itu kembali menarik diri ke
dalam garis yang didefinisikan Gereja sebagai
ortodoks. Inilah yang tergambar di tengah cerita.
Benturan kedua tokoh ini adalah symbol pertarungan gereja melawan
sekularisme. Posisi Hester berada di tengah-tengah keduanya. Hester memilih
membangkang dari otoritas gereja, bahkan tidak segan-segan menyanggah pendapat
pendeta. Meski sangat kritis, Hester juga sangat religius. Mengobati hati
sambil membesarkan anaknya, ajaran agama adalah yang membuatnya terus percaya
diri.
Siksaan batin seumur hidup yang dibawa Hester lalu berubah menjadi cinta
di akhir adalah petualangan berharga para pembaca. Hawthorne seperti
menyodorkan sosok beragama yang ideal. Dihina lalu dihormati. Taat tapi juga
mandiri dan berani berpikir bebas. Dan pilihannya sangat tepat untuk memilih
karakter wanita untuk latar puritan yang masih patriarki.
Memang cerita yang bertema agama cukup sentimentil. Tapi juga cukup
mampu untuk merenungkan bahaya puritan, atau beragama yang terlalu berlebihan,
atau setidaknya saya berpikir begitu.
Novel ini tampaknya perlu dibaca oleh siapapun yang berani beragama.
Membutuhkan renungan panjang dan asupan ilmu pengetahuan sebelum berani
bertanya: apakah memisahkan pemerintahan dengan agama itu hal yang perlu?
Jika pertarungan antara Roger dan Arthur adalah hal yang abadi. Maka
kita semua membutuhkan sosok Hester. Plus juga sosok Pearl yang tumbuh dewasa
dengan ceria meski kebahagiaanya telah direbut sejak lahir dan tanpa tahu
ayahnya.
Saya merasa lega setelah membaca novel ini. Novel “beragama” tapi tanpa
kosa kata agama. Bahkan, ketika telah selesai membaca, sebenarnya kesan puritan
pun tak ada. Hanya roman yang memutar-mutarkan makna benci dan cinta lalu
ditabrakkan dengan rasa keadilan.
Terlepas dari isi cerita yang bagus. Terjemahan oleh penerbit Narasi terlalu
dipadatkan. Banyak kata bahkan kalimat yang dibuang. Padahal Hawthorne tidak
terburu-buru memaparkan kejernihan “agama” yang dianutnya. Seperti kata Poe
dalam ulasannya pada Twice-Told Tales: the
style is purity itself.
*kutulis akhir bulan Maret lalu karena Thea meminta urun kisah buku yang ringan dan pendek. Baru kutahu ternyata mau dipakai untuk buletin Pawon. Entah dimuat atau tidak, kutak peduli.
Judul :The Scarlet letter
Penulis : Nathaniel Hawthorne
Penyunting : Nien
Desain sampul : Mahar Mega
Pemeriksa Aksara : Tika Yuitaningrum
Penerbit : Narasi, cet 1
Tahun : 2015
Halaman : 276 hlm
Comments
Post a Comment