Melupakan Kebenaran

Ketika melihat banyaknya manusia berkumpul dalam suatu ruangan, aku sempat berpikir, apa yang mereka pikirkan? Di dalam kelas misalnya, 50 orang berkumpul untuk mengikuti kuliah. Apa yang mereka cari di sini? Setelah mendapat apa yang dicari, apa yang mereka harapkan setelah keluar dari kelas?

Kita potong saja menjadi alasan yang umum, mempersiapkan diri untuk bekerja. Apa yang mereka miliki untuk mendapat pekerjaan? Apakah yang mereka miliki sudah sesuai dengan tempat kerja? Ataukah nanti mereka masih terus mencari?

Kemungkinan, 50 puluh orang dari kelas yang sama akan mencari lagi. Bila mereka tujuan yang sama, apakah tujuan mereka akan mengijinkan 50 orang itu memilikinya? Dari sinilah kepentingan lahir. Apa yang dimiliki mungkin sama, tapi kepentingan selalu berbeda. Dan perbedaan ini yang menimbulkan persaingan.  Jika yang dimiliki sama, persaingan apa yang akan dipertarungkan?

Barangkali, dengan semua kepentingan yang dimiliki, kebebasan yang dimiliki, kebenaran merekalah yang sedang dipertarungkan. Orang kaya akan menggunakan kebenaran waktu yang berharga sebagai alas an ideologis. Orang miskin akan menggunakan kebenaran populis yang memihaknya sebagai penjaganya, sebagai alasannya bertahan.

Pelik!

Aku mendapatkan suntikan energi ketika membaca Scarlet Letter karya Nathaniel Hawthorne. Cukup menggairahkan karena pertunjukan Hawthorne adalah persaingan kebenaran ilmu alam dan ilmu surga. Keduanya sudah tidak bisa bersatu. Apa yang dibungkus?

Pada ilmu agama, tokoh pendeta yang baik, bijaksana, menguasai segala hal tentang ilmu keagamaan, membuatnya menjadi pembesar yang dihormati. Segala perbuatannya hamper tak ada cela. Dengan bersumber kitab dan ajaran agama, kini dirinya menjadi sumber kebijaksanaan dalam kaumnya. Celanya adalah, kebenaran itu bertumpu pada dirinya, bukan sumber dan apa yang diajarkannya. Konsekuensinya, jika dirinya sedikit saja salah, maka semua kebenarannya akan hancur. Itulah sebabnya agama tidak bisa dan tidak mau diuji.

Lawannya, ilmu alam, tokoh dokter yang cerdas, menguasai ilmu medis, antropologi, dan bahkan psikologi, membuatnya menjadi pengantar manusia menghadapi hidup di dunia. Kebenarannya berada di depannya, bukan dimiliki dan bukan dari kitab suci yang berada di belakang. Kebenarannya adalah ketika dia membuktikan. Dengan dasar haus akan objektifitas, kebenarannya menjadikannya ambisius. Jika dia mengabaikan moral sedikit saja, ilmunya yang akan menguasai dirinya. Keingintahuannya bisa membahayakan dirinya dan orang lain.

Garis kebenaran kedua tokoh ini pada gilirannya, atau mungkin sekarang, sudah menemui ujungnya. Pikirku, malah harus sudah berujung. Apakah tidak sia-sia bila membandingkan kebenaran agama dan kebenaran dunia? Istilah jawanya adalah apple to apple.

Jika agama sudah menutup diri dengan kitab dan ajaran nabi, ya sudah tidak perlu dipermasalahkan. Ilmu dunia masalahkan saja dunia ini. Tentang agama juga bagian dari dunia, tapi agama sudah mengklaim diri berasal dari surga. Dunia toh lebih rugi ketika mengusik agama yang sudah mengklaim menang sendiri.

Akhirnya, biarkanlah kebenaran itu menjadi milik masing-masing. Suka tidak suka, agama dan dunia memang lebih baik dianggap berbeda. Ketika manusia berhasil tinggal di planet mars, semuanya akan berakhir. Agama akan kerepotan mengatakan surge dan neraka. Suka tidak suka, dunia juga membutuhkan agama untuk menjaga dunia sebelum waktunya tiba. Suka tidak suka, kebenaran mereka sudah masing-masing jadi tidak perlu diperdebatkan.

Tentang kebenaran, yang beragam tentunya, Jacob Sumardjo menggelitik dengan Ilmu dan Laku. Bahwa kebenaran adalah paradox, orang menganggap yang lain salah, yang lain balas menyalahkannya. Dua-duanya saling mengklaim kebenaran. Sehingga, ukurannya pun tak jelas mana yang lebih benar.

Dengan sejarah kita mendapat suntikan kalimat bagus lainnya, kebenaran adalah milik penguasa. Artinya adalah kebenaran bisa didapat jika memiliki banyak massa, kekuatan, dan semua data-data yang mendukungnya.

Di mana kebenaran milik minoritas, atau yang memiliki kekuatan kecil, massa sedikit, data yang tidak lengkap? Kekalahan kuasa mengakibatkan kekalahan kepada kebenaran. Kebenaran adalah milik pemenang.

Jika pendeta dan dokter tadi berkelahi, beradu gagasan, siapa yang menang? Ini adalah jawaban yang paling ditunggu. Tetapi apakah berarti memang tidak ada kebenaran jika salah satunya kalah dalam berpendapat?

Perbedaan pendapat ini sayangnya menjadi sumber konflik. Perbedaan kebenaran ini ternyata membutuhkan panggung bernama perang untuk penyelesaian. Ternyata kebenaran pun membutuhkan kekuasaan. Kita semua sedang berperang memperebutkan kebenaran.

Sampai manusia bisa menginjakkan kaki di mars, sampai matahari mengalami supernova, kita akan terus berperang. Kebenaran kita harus berkembang, karena itu memang haknya. Untuk itu, bersiaplah kita akan berperang sampai mati.

Tidak ingin benar

Atau? Manusia tidak ingin benar! Jiwa ksatria yang didongengkan pada intinya adalah membela yang lemah. Ksatria tidak peduli dengan benar atau salah, kepalanya hanya berpikir untuk membantu orang yang kesusahan. Apakah ini bisa menjadi sebuah wacana? Tidak usah mencari kebenaran, cari saja kebaikan.

Ini akan menjadi cita-cita kecil yang melelahkan karena tidak sebesar agama dan dunia. Tapi jika diusahakan untuk menyelidiki keduanya, alternative hidup tanpa perang kebenaran tentu masih bisa diraih.

Misalnya, pluralism dalam agama. Ketika agama mengakui adanya perbedaan, maka perbedaan yang membentuk konflik bisa dihnidari. Dengan sikap pluralism, kebenaran tidak perlu terlalu diusik. Jika sudah mengakui adanya perbedaan, maka tidak perlu dibandingkan mana yang lebih benar. Istilah ngapaknya ya apple to apple.

Jika memang pluralism dirasa sulit dilakukan, ada cara lain seperti bersikap inklusif pada agama. Dengan orientasi pada detail yang beragam pada hidup, maka kebenaran bisa jadi bukan hal yang otentik. Bisa jadi satu detail memakai detail kebenaran yang lain, juga sebaliknya. Sehingga, kebenaran ada di tempat lain, bahkan di tempat yang paling ditidaksukai.

Yang menjemukan tentu jika masih ada bibit agama eksklusif. Memakai kebenaran tunggal  yang sebenarnya masih paradox adalah blunder besar di era teknologi-industrial. Setiap orang akan membutuhkan perkembangan zaman, terutama teknologi. Meski kebenaan tunggal pada praktiknya masih sebatas lisan, meskipun teroris juga ada, belum mengkhawatirkan wacana yang sudah berkembang. Tinggal menunggu waktu saja.

Alternative lainnya juga berlaku pada ilmu dunia. Jika teori gravitasi yang diklaim sebagai teori yang mendekati kebenaran, bagaimana dengan yang lain? Pengujian terus menerus yang membutuhkan waktu, juga mengkhawatirkan kebenaran yang tidak bisa stabil karena ilmu dunia bia berubah sangat signifikan.

Selain itu, kebenaran seperti ini juga cukup menguras tenaga karena manusia harus dituntut untuk terus mencari. Jika kenyataan tidak sesuai dengan apa yang harus dituntut, ketimpangan akan terjadi. Pada giliranna nanti, ketimpangan ini yang akan lebih banyak membebani.

Selain itu, apakah memang manusia siap untuk meninggalkan agama? Dunia membutuhkan kestabilan untuk mnjaga manusia tetap kuat. Dan saat ini, sebagian besar perannya masih dilakukan oleh agama.

Aku akan memilih agar tidak ada kebenaran saja. Yang ada adalah kegelisahan untuk membangun. Jika gorilla saja tahu bagaimana membangun rumah, manusia juga bisa membangun dengan instingnya. Manusia sudah memiliki kebenaran itu di kepalanya. Persoalnnya cuma persaingan antar kepala. Inilah yang membuatku tidak bia memprediksi 50 orang pelajar di kelas itu akan akan ke mana.

Comments

Popular Posts