Lebih dari Bukan-Cinta-Biasa Sepasang Lansia

http://pad.mymovies.it/filmclub/2012/02/130/locandina.jpg
http://pad.mymovies.it/filmclub/2012/02/130/locandina.jpg


Cinta. Beragam tafsir menyuplikkan maknanya dalam bubuhan karya seni. Orang dengan mudah akan meningat Romeo and Juliet sebagai wakil dari literasi cinta. Kemudian ada Endless Love yang ditulis dengan sangat indah Lionel Richie. Jagat film juga tak ketinggalan berurusan dengan cinta. Sebut saja Titanic atau Pretty Woman yang romannya abadi.

Tema cinta dalam perjalannya barangkali boleh diremehkan. Cinta menjadi hal yang umum, tapi sedikit tabu untuk dibahas. Orang akan bilang “Haah cinta-cintaan”. Karya bertema cinta bisa menjadi pilihan terakhir ketika membeli tiket ke bioskop. Apalagi laki-laki. Kadang dianggap terlalu menye. Terlalu lebay. Kurang kerjaan. Tapi harus selalu diakui, semakin dicaci, semakin cerita cinta mengalir dengan beraneka bentuk dan isi.

Mengartikan cinta memang lebih aman bila didapatkan dari sebuah pengalaman. Rumusan teori tentang cinta yang dipikirkan sampai gila barangkali tidak laku dipelajari bahkan dikaji secara akademik. Karena, pengalaman selalu dianggap sumber pembenaran, yang fakta dan bisa dilogika. Oleh sebab itu, tema ini tak pernah habis dicipta. Seperti mengalami pembacaan buku-buku, film-film, dan lagu-lagu roman.

Konon, negara bernama Francais atau Perancis adalah negara paling romantis di dunia. Lebih spesifik, Paris adalah kota cinta. Dari sini lahirlah penulis-penulis, musisi-musisi, pemikir-pemikir nakal yang mengulik tentang cinta. Dari sini juga aku memberanikan diri menonton cinta atau bahasa perancisnya Amour.

Langsung memperlihatkan kedalaman isi, karakter yang diusung adalah sepasang manusia lanjut usia. Ini langsung mengganggu pemirsa sinetron karena pemeran film berjudul cinta bukanlah dua orang yang sempurna cantik dan tampan. Kedua tokoh kakek-nenek ini sudah renta, sakit-sakitan.

Kedua orang sepuh ini adalah mantan guru musik yang namanya cukup baik. Keduanya menghabiskan masa tua berdua saja tanpa bantuan anak atau asisten rumah tangga. Cerita mulai menegang tatkala Anne (Emmanuelle Riva), terkena stroke. Anne tiba-tiba membatu seperti keluar dari waktu. Georges (Jean‑Louis Trintignant) yang mendapati istrinya kaku kemudian membawanya ke rumah sakit.

Alur lambat dengan model cerita tersirat mengungkapkan ketidaksukaan Anna pada rumah sakit. Georges kepada anaknya mengatakan akan merawat istrinya sendiri atau meminta bantuan orang lain. Pada perjalannya nanti, Georges menepati janjinya untuk tak membawa Anne ke dokter.

Gambar-gambar Georges merawat istrinya akan banyak memenuhi layar. Adegan demi adegan yang lambat terasa mempertajam suasana. Sutradara Michael Haneke secara berani menggubah tema cinta yang sebenarnya ringan dengan dialog padat tapi secara terbalik menyuguhkan gambar lambat. Seolah dia ingin menunjukkan sesuatu yang lebih penting ketimbang dialog panjang. Dan benar, efek ini membuat feel cerita menjadi dalam. Sebab, penonton akan fokus ke gambar yang secara otomatis masuk ke dalam suasana. Sutradara terbilang andal dan sukses.

Cerita kemudian merambah ke zona yang lebih tinggi. Apa konflik untuk kedua lansia sakita-sakitan ini? Anne terkena stroke, Georges juga punya penyakit tulang. Georges akhirnya pun merawat Anne seorang diri. Lalu konflik apa yang cocok?

Semangat kengeyelan! Untuk urusan cinta, semangat saling terkait. Tak peduli urusan muda atau tua. Anne yang sudah sudah pasti mendapat stroke, ngeyel menolak ke rumah sakit. Ketika kondisinya semakin memburuk, dia menolak bantuan-bantuan Georges. Hal sepele seperti makan atau minum yang dimuntahkan sebagai bentuk penolakan, bila dipikirkan memang seperti inilah manusia. Dalam kondisi terburuk pun, manusia tidak ingin mempeburuk kondisi orang lain. Memang tampak seperti anak-anak, tapi memang beginilah manusia.

Kini Anne mencapai pada kondisi tubuh bergerak dengan satu tangan dan berjalan dengan kursi roda. Berbicara pun tak lancar. Kondisinya yang sedemikian rupa pun kadang tetap menjengkelkan karena ingin bergerak sendiri dan tidak ingin minta bantuan Georges. Di samping itu, kondisi Goerges juga sudah mulai memburuk. Jalannya kini sudah lambat.

Kondisi terakhir Anne adalah tubuh terbaring tak berdaya dengan infus menjalar di lengannya. Mukanya membiru dan agak merah di bagian mata. Obrolan Georges hanya dibalas dengan gumamman tak jelas. Emmanuelle Riva tampil sangat meyakinkan bahkan ketika berkedip dan bmenggumam susah.

“Sometimes you are a monster, but you’re nice.” Barangkali adalah pesan tersembunyi sutradara dari Anne kepada Georges. Benar saja, tak tahan melihat penderitaan Anne, Georges membungkam mukanya dengan bantal hingga napas terakhirnya.

Bunga-bunga disiapkan di ranjang Anne. Georges berencana merahasiakan kematian istrinya dengan menutup semua ruangan dan celah pintu denagan lakban. Satu hal yang agak surealis adalah adanya burung dara yang masuk rumah dan mengganggu Georges yang sedang menulis surat. Sekian menit dihabiskan untuk menangkap burung dara itu. Barangkali itu adalah pesan bahwa Anne ada di situ menemani Georges.

Keesokkan harinya, Georges bangun karena suara berisik orang cuci piring. Dan itu Anne. Dia meminta Georges bersiap untuk pergi. Perancis sekali, absurditas!

Akhir cerita tampak twist dengan efek fiksi. Atau kalau boleh dibilang sebut saja surealis. Kematian keduanya tidak diperlihatkan. Hanya digambarkan dengan perjalanan keluar rumah sebagai orang yang sehat.

Cinematography oleh Darius Khondji harus diakui kekejiannya. Pemberian landscape ruang kamar, ruang tamu, atau seisi rumah terasa seram. Gaya gambarnya sangat cocok dikawikan dengan alur lambat macam film eropa.

Film ini mencekam bagiku. Ini semakin membuatku bertanya-tanya tentang cinta. Apakah kesimpulannya cinta itu rela berkorban? Mengerti satu sama lain? Kesetiaan? Mungkin jawabannya bisa iya atau tidak. Yang terpenting, cinta di film ini diperlihatkan dari makna kata kerja, bukan objek. Cinta itu melakukan.

Penampilan kedua kakek nenek ini sangat total. Adegan George menampar Anne yang ngeyel barangkali menjadi adegan terfavorit. Emosi yang rumit dari keduanya sangat baik dan tersampaikan. Pembangunan karakter tua dan sakit-sakitan barangkali tidak terlalu spesial. Banyak film yang mengangkat film sakit-sakitan yang bahkan pada usia muda. Perbedaanya adalah kedua aktor dan artis sepuh ini menjadi fokus utama hampir di semua scene karena tidak pernah meninggallkan setting rumah. Tentu saja ini membutuhkan kemampuan akting yang prima. Dan mereka berdua adalah aktor dan artis yang menawan.

Kemungkinan lain adalah film ini mencoba memotret kehidupan para senior di Eropa. Semakin tidak populernya sebuah pernikahan, kisah cinta dari para senior memang terasa segar. Mungkin Haneke mencoba menawarkan cinta dan berkeluarga. Entahlah.

Yang perlu diperhatikan bagi yang bukan penggemar drama adalah alurnya. Alur khas film eropa yang lambat akan terasa membosankan. Apalagi, Amour sedikit sekali menggunakan background musik. Hanya dialog-dialog dua kakek nenek ini. Atau sesekali Ludwig van Beethoven, Johann Sebastian Bach, dan Franz Schubert juga mengisi. Tapi justru inilah yang membuat film ini mewah. Semuanya dilakukan dengan tujuan. Terlihat sekali ini adalah pengerjaan yang sangat terukur. Semua dilakukan dengan peran masing-masing untuk efek masing-masing.

Film yang rapi. Terstruktur. Terukur. Sutradara jempolan yang patut ditunggu karya-karyanya.


Title: Amour
Initial release: September 20, 2012 (Germany)
Director: Michael Haneke
Cinematography: Darius Khondji
Music composed by: Ludwig van Beethoven, Johann Sebastian Bach, Franz Schubert Amour. 


Comments

Popular Posts