Bergembira dengan Membaca Kolom Komentar



Minggu ini terasa cukup berat bagiku. Novel yang sedang kujadikan penelitian, yang awalnya berjalan sungguh indah, kini harus berhenti di tengah jalan. Gara-garanya adalah si penerjemah tidak melakukan tugasnya dengan elegan. Di tengah-tengah, paragraf demi paragraf dipotong-potong seenaknya. Tulisan asli penulis jadi hilang, dan pembaca tidak tahu itu pergi ke mana. Tapi aku tahu.

Sebagai orang yang mempelajari terjemahan, untuk alasan tertentu, hal semacam ini bisa dibenarkan. Tapi sebagai pribadi yang menceburkan diri ke tambang sastra, tulisan penulis adalah harta. Sayang sekali jika teknik penerjemahannya memakai omission. Padahal, menjaganya sungguh mudah, yaitu menerjemahkannya dengan sungguh-sungguh dan cukup berpikir masa bodoh: tidak peduli ideologi atau kepentingan pribadi atau pembaca nantinya.  

Sambil lalu, aku mencoba mengulik beberapa novel pengganti seperti Of Mice and Man, juga The Great Gatsby. Dua novel ini memang telah lama kujadikan cadangan jika terjadi hal-hal seperti di atas, atau persis seperti 1984, Fahrenheit 415, hingga Uncle Tom's Cabin

Sebagaimana hidup cuma mampir udud, ngapain bersedih-sedih ria? Bergembiralah! Bahagia!

Semangat bosqueeee....!!!

Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu masyarakat yang adil....bahagia, aku jadi ingat resep bahagia a la Eka Kurniawan, yang juga sering kupraktikan: membaca kolom komentar! Cara bermainnya sangat sederhana, buka sesuatu yang kita sukai, misalnya lagu, film, buku, di media sosial, lalu baca komentarnya. Kenapaaa? Karena komentarnya  bukan sembarang komentar, tetapi juga analisis singkat yang pedas, atau di lain makna: lugu. 

Eka menemukan ritual mengasyikkan ini ketika membaca kolom komentar di goodreads.com. Banyak sekali sastrawan legendaris, yang kalibernya nobel sekalipun, sangat mudah mendapat cemooh, makian, hujatan. Novel One Hundred Years of Solitude, misalnya, diberi komentar “cuma kumpulan anekdot” dan “gaya berceritanya datar”. What the fun! Haha.

Warganet memang kelewatan lah kalau soal bullying. Ini kanon-kanon sastra lho yang dibully, bukan Tere Liye atau Ilana Tan. 🤣🤣🤣

Dalam kasusku, aku membuka album terbaru Queen of The Stone Age, Villains, di Youtube dan membaca mungkin hampir separuh komentar warganet (yang jumlahnya ribuan) dengan tanggapan mereka yang aduhai indahnya. Haha.

Ada yang menyebut QOTSA mulai berubah ke arah pop (album ini memang menggandeng Mark Ronson sebagai produser), sehingga kelompok pecinta rock merasa terkhianati. Bagi mereka, QOTSA adalah band rock terdepan di dekade ini. Josh Homme, vokalis dan gitaris yang brilian nan juga bermulut pedas karena sering mengkritik band rock yang "manja", dianggap menjilat ludahnya sendiri. 

Homme sendiri, secara khusus, menyampaikan jika album ini memang penuh eksperimen. Tujuan memakai jasa Mark Ronson pun memang utnuk mendapatkan feel modern. Menurutku pribadi, QOTSA, begitu juga band lain seperti Foo Fighhters, masih tergolong sangat modern untuk sebuah genre rock. Dan sebagai fan, aku sangat menghormati keputusan Homme cs untuk mengeksplorasi musiknya entah itu mendekati pop atau tidak.

Karena suka tidak suka, band yang terang-terangan cukup cadas pun kini mulai mengikuti tren demikian. Linkin Park yang terkenal dengan numetal, di album terkininya, One More Light, terdengar sangat ngepop. Paramore yang dulunya emo/alternatif punk, kini sangat ngepop. Bahkan, band yang terang-terangan metal seperti Avenged Sevenfold pun, entah diakui atau tidak, sekarang memiliki unsur pop.

Dan memang telah sampailah kita pada saat yang berbahagia, era berkomentar seenaknya atau era vulgarism. Komentar jadi sesuatu yang sangat ringan untuk dilakukan, apalagi jika menemukan sesuatu yang janggal, tidak lumrah, tidak biasa. 

Tidak perlu disesali. Bacalah, nikmati. Komentar sama seperti esai, cerpen, dan lainnya yang ditulis berdasarkan gagasan-gagasan.

Lewat ruang yang mungkin minim, atau memang sengaja disingkat, komentar jadi terasa lebih jujur. Dengan prinsip media sosial yang melipat jarak dengan siapapun, penguasa sekalipun, dan ilmuwan sekalipun, komentar yang jujur dan bebas sangat boleh dan bisa terjadi.

Sesuatu yang mungkin saja dianggap sebagai masterpiece, mungkin saja menurut orang lain tidak demikian. Mungkin menurut orang lain, bisa saja itu sampah, kegagalan dan lainnya. Dan itu sah. 

Sebagai penghormatan pada komentator yang lucu-lucu itu, berikut kucuplikkan beberapa komentar-komentar reflektif dari warganet yang lucu-lucu ketika album terbaru QOTSA dirilis:

"It's too overproduced for me :( I miss the eloquent roughness of older QotSA material. I feel like josh has too much say nowadays. That clapping fucking sucks :( Still seeing them in a few weeks though ;)"

"The sound awfully lacks of heaviness and complexity in this album... This is obviously a production choice but it's completely failed in my opinion ! Songs seem empty... It's a pitty because this song and some others on the album could have been pretty cool..."

"The drum sound is so bad. Bad production from Ronson. No crash symbols on both songs which is fine but what a terrible sound he has captured. Am I wrong?"

"it would be better if you retired"

"is this Coldplay?"

"Great songs, terrible mixing. The bass and drums are so flat and dead sounding", tak lupa juga analisis singkatnya.

"It's boring" 

"What's with these shitty 2 minute intros? Know your fucking audience cunts and don't spit at our shoes. Get the fuck over yourself Homme... There, It's been said", mengomentari lagu Villains of Circumtance.

Dan memang seperti itulah manusia, awalnya risih, tapi kalau sudah tahu rasanya, ketagihaan!

"1st day: oh, it's mediocore. 2nd day: wow that's actually really good. 3rd day: This is the best thing in existence Every Qotsa Album ever."

"People who are hating the production are always hating something everywhere. This sounds fresh as fuck."

"Are people slow? TCW sounded like QOTSA not the other way around, did you expect Josh to completely change his voice & playing, besides this is more in line with the last QOTSA album. Fools, fools everywhere!"

"This album (like a lot of Queens music) is grower material. I thought it was iffy at first, now I'm listening to it over and over again."

"This song is utterly amazing. The attention to detail in the arrangement is sublime. Thank you for producing music that matters!!". Komentar ini terlihat dewasa menyikapi suatu karya, terutama musik!

Sepertinya dunia memang tidak bisa lebih lucu dari ini. Atau mungkin masih bisa? Tolong jangan bawa sekarang, mungkin aku tidak sanggup mencernanya!

Komentar sejatinya hak dari segala pembaca/pendengar/pemirsa. Mungkin kita tidak bisa menyalahkan atau menganggap komentator ini kurang pendidikan, atau pengamatannya kurang dalam. Kita tidak tahu latar belakang seseorang. Dan jika suatu karya secara nyata telah membuat "konsumen" tidak nyaman, mereka berhak mengatakan "ini sampah", "karya yang tidak beguna", dan sebagainya.

Aku jadi teringat temanku waktu SMA. Waktu itu, Adele secara singkat dan drastis berhasil masuk billboard. Masih sangat baru waktu itu, karena dulu aku memang cukup suka menggunkan jasa billboard untuk mencari lagu. Ketika masih banyak orang yang belum tahu dan menyukainya, aku sudah memutarnya berulang-ulang. Hmmm, sebuah karya yang tidak pernah kudengar sebelumnya, pikirku. Dan komentar temanku hanyalah, "iki opo??? Lagu opoooo iki. Huaaaa, huaaou, tok."

Beberapa minggu kemudian, ketika lagu-lagu Adele booming di Indonesia, atau sampai versi dangdutnya ada, temanku menyukainya. Entah dia sadar atau tidak jika dia pernah merutuki lagu yang kini disukainya.

Bagiku, menerima sesuatu yang tidak biasa memang sulit, apalagi jika itu drastis dan cepat. Melakukan sesuatu yang diluar kebiasaan bukan hanya bisa dianggap janggal, tetapi juga salah. Dan aku berharap semua orang bisa berkomentar dengan cerdas dan santun jika mereka belum siap, atau paling tidak belum memahami. 

Boleh komen semaunya, asal jangan menjijikkan seperti komentator sepak bola di Indonesia, oke?!



gambar: https://goo.gl/bgoxZq

Comments

Popular Posts