Agama vs Sains, Komunikasi adalah Koentji



Setiap 10 November, dunia memperingati hari sains dunia, atau lazim disebut World Science Day for Peace and Development. Tujuannya jelas yaitu mempromosikan pentingnya sains di kehidupan sehari-hari. Di Amerika, misalnya, perayaan puncak biasanya akan diadakan dialog dengan  para saintis yang telah lama mempromosikan sains, misalnya saja Bill Nye The Science Guy, Richard Dawkins, atau bahkan Neil deGrasse Tyson yang popular lewat radio StarTalk dan Cosmos di tv. Intinya cuma satu, mendekatkan sains kepada masyarakat.

Sebagaimana pendekatan terjadi, “miskomunikasi” selalu saja bisa terjadi. Miskomunikasi atau masalah komunikasi sains atau perihal memilih kebenaran umum untuk diyakini, kini jadi perkara yang amat sangat serius. Sains sebagai metode untuk menentukan kebenaran secara ilmiah yang telah dipercaya ratusan tahun kini diragukan. Pertanyaan pentingnya, mengapa sains sampai bisa diragukan?

Dikutip dari National Geographic, Maret 2015, menurut Dan Kahan dari Yale University, mereka yang tidak mau menerima konsensus ilmiah bukan mereka yang tidak melek sains. Justru, kemelekan sains membuat mereka semakin berpegang teguh pada pendapat mereka. Atau dengan kata lain, mereka menggunakan sains untuk memperkuat keyakinan dari sudut pandang mereka yang sudah lama terbentuk.

Sudut pandang kelompok/komunitas yang diperkuat dengan “sains”, ditambah pula internet dengan demokratisasi informasinya, muncullah wacana ketidakpercayaan pada sains yang melembaga dan terstruktur dengan baik secara masif. Lebih buruk lagi, anggota kelompok ini tidak akan peduli meskipun telah dijelaskan dengan data-data yang lengkap. Sebab, keyakinan untuk memilih ini dimotivasi oleh emosi, yang mana motivasi terbesarnya datang dari hubungan bersosial/berkelompok (yang juga punya sudut pandang tersendiri soal sains).

Kondisi semacam ini berlangsung di negara manapun. Di Amerika misalnya, berdasarkan data dari National Geographic di tahun 2015, 40 persen warganya tidak percaya jika perubahan iklim terjadi akibat ulah manusia. Selain kelompok pro sains gagal berperang di ranah legislatif, keadaan semakin buruk setelah Presiden Trump mencabut “Paris Agreement”.

Di Indonesia, wacana anti sains juga tampak dengan jelas di berita sehari-hari. Jika mengacu pada penelitian Kahan, tak pelak Indonesia bakal menjadi salah satu Negara paling sulit menghadapi ketidakpercayaan pada sains. Indonesia dianugerahi keanekaragaman suku, etnis, agama, tradisi, yang mau tak mau pasti memiliki sudut pandang tersendiri mengenai sains.

Apakah keanekaragama kita berarti bencana? Sebenarnya, bisa saja keanekaragaman ini adalah solusi. Liz Neeley, Public Communication for Researchers, berkata bahwa orang perlu mendengar dari anggota dari kubu yang memiliki nilai-nilai dasar yang sama. Dengan prinsip seperti ini, kampanye sains bisa langsung dilakukan dari internal. Pertanyaannya, siapa yang akan melakukannya?

Komunitas agama adalah salah satu pemegang wacana publik paling dominan, terutama di Indonesia. Mengkampanyekan sains lewat agama, apakah mungkin?

Barangkali, agama punya alasan “wajar” untuk menolak sains karena sering “disakiti”. Perdebatan panjang believer vs atheist, atau creation vs evolulution, telah mengudara sejak dulu tanpa henti. Dan sains, selaku kelompok yang berkata berdasarkan bukti, tampak wajar jika “dimusuhi” (karena argumennya rasional), terutama jika netralitas di komunitas ilmuwan tidak terjaga, atau mungkin ada imajinasi liar tentang ilmuwan gila yang ingin menguasai dunia.

Di internal sendiri, agama cenderung "melindungi" diri sendiri dari perkembangan sains. Bukan apa-apa, melainkan cuma kebanyakan ilmuwan memang atheist atau agnostik. Hal ini terungkap dari penelitian Richard Dawkins yang mewawancarai berbagai kelompok keagamaan. Atheist menurut kelompok beragama dipandang sebagai kelompok yang immoral. Apakah orang beragama mau mengikuti pendapat dari orang yang dianggap immoral?

Tentu ini pandangan yang salah kaprah. Baik buruknya seseorang tidak bisa begitu saja dibebankan pada status keagamaan semata. Justru, peristiwa menyedihkan malah banyak dipicu oleh agama, seperti perang, diskriminasi, hingga terorisme. Salah paham seperti ini tentu masalah yang besar karena berada di platform horizontal. Sesulit itukah berkomunikasi dengan memendam jauh pransangka?

Sekali lagi, komunikasi dengan kelompok keagamaan memang sangat diperlukan di waktu rawan seperti ini. Sebab, agama pun bukan komunitas yang berisi mindless fanatic (seperti yang mungkin terbayang) yang cuma memimpikan utopia. Banyak sekali tokoh keagamaan yang mulai menggunakan pendekatan ilmiah dalam menafsir agama.

Jauh pada abad ke-11, Anselmus, Uskup dari Canterbury, Inggris, mengeluarkan ajaran terkait pentingnya nalar lewat credo ut intelligam: saya percaya agar bisa memahami. Menurutnya, akal budi yang sejati niscaya akan dapat mencapai kebenaran-kebenaran iman, maka orang beriman seharusnya berusaha memahami imannya secara rasional (Simon Petrus L. Tjahjadi, 2007).

Untuk itu, kita mesti bersyukur ada tokoh keagaman seperti Paus Fransiskus yang mendukung kelompok perubahan iklim. Bahkan, Paus Fransiskus juga mengecam Presiden Trump ketika mencabut perjanjian Paris. Seperti Anselmus, Paus Fransis memahami imannya secara rasional. 

Di Indonesia, manakah kelompok yang beriman secara rasional? Ini adalah pertanyaan kunci untuk memulai komunikasi. Yang jelas, agama memiliki peran sangat penting di saat genting seperti ini. Sebab, memahami agama secara rasional bukan saja kemenangan untuk sains, tapi juga usaha merawat akal budi manusia. Jika di atas Kahan mengungkapkan ‘suku lebih penting dari kebenaran’, maka di sini kita bisa mendapatkan suku dan kebenaran sekaligus (bila komunikasi itu berhasil).

Richard Dawkins mungkin akan tertawa, tetapi dia tahu kalau kita menuju ke arah sana. Lagi pula, siapa yang punya kekuatan propaganda lebih baik ketimbang agama?

Keragaman yang kita syukuri sebagai anugerah, beruntungnya juga menumbuhkan sikap egaliter. Sehingga, perkara memilih suku atau kebenaran akan semakin lentur. Tinggal bagaimana komunikasi di tengah keragaman ini berjalan.


Maka, kita cuma butuh pemberani untuk melakukan tugas mulia ini, di saat genting ini. 



gambar: https://goo.gl/8uKXah

Comments

Popular Posts