Ika Waringin Jati

Aku sudah cukup lama mencoba menulis fiksi, tetapi selalu saja merasa gagal. Ada jarak yang masih mencolok ketika membaca cerpen sendiri lalu membandingkannya kepada Eka Kurniawan (yaiyalah). Ya sudah, buang lagi ke folder cerpen dengan nama file draft_xxx.

Pelbagai masalah sudah kutemukan. Penyelesaian masih susah. Satu yang kurasa paling susah adalah gaya penulisan, terutama menulis dialog. Aku masih selalu merasa tokohku mati. Kata-katanya masih terdengar sepertiku, bukan karakter itu sendiri.

Aku berpikir begini karena aku cukup pede dengan ide ceritaku hahaha. Memang menulis dialog lah yang paling brengsek.

Apa harus? Tentu tidak. Epistolary seperti punya Dewi Kharisma tidak punya dialog. Lady Susan milik Jane Austen tidak punya. Sebenarnya masih bisa. Tapi menarasikan dialog juga sama saja kalau yang terdengar masih suaraku. Rasanya kering begitu.

Untuk itu, mulai hari ini aku ingin berlatih menulis dialog. Rencananya, aku akan menulis seperti Parakitri S. Simbolon di Cucu Wisnusarman. Agak-agak semi esay, alegoris, metaforik, dan satir. Kenapa? ya biar keren lah hahahhahaa.

Baik. Cerita dibangun bebas tanpa babak. Bisa saja aku hanya menulis dialog di konflik, tok. Bisa saja yang lain. Pokoknya menulis dialog. Tidak peduli dengan aturan. Menulis ya menulis aja.

Tulisan ini nanti menceritakan seorang perempuan bernama Ika Waringin Jati (nama yang kucari sangat Indonesia). Sebagai wadah, dia bisa kuambil masa SDnya, SMPnya, SMAnya, Kuliahnya, dll. semauku. Mungkin aku ingin menceritakan Ika ketika diputus pacarnya waktu SMA, bisa juga kuliahnya yang keteteran karena organisasi, atau perdebatan dengan keluarganya yang konservatif.

Begitu juga dengan latar, aku bisa saja mengubahnya menjadi orang kaya, miskin, susah, bahagia, sedih, dll. Ini karena aku berencana menulis Ika sebagai respon terhadap isu-isu terkini. Pandangan Ika terkait PKI misalnya, atau FPI, HTI, atau juga band Efek Rumah Kaca.

Ika mungkin juga bisa kusalurkan sebagai pandanganku jika saja aku wanita. "Jika saja" adalah seni yang baik untuk dilatih, apalagi untuk menjadi orang yang benar-benar lain. Siapa tahu, sisi kecewek-cewekanku cukup besar. Ya kan? 

Aku mencoba menceritakan tentang Ika, tapi juga menceritakan tentangku. Dengan begini, aku bisa menjadi apa saja, di mana saja, kapan saja, bebas. 

Ika adalah wadah yang berlatih berbicara. Tulisan-tulisan ini adalah sekolah baginya. Berhasil atau tidaknya, tergantung sampai mana Ika menjadi dirinya sendiri. Bebas dari tulisanku, bahasaku, suaraku.

Semoga, ya!

Comments

Popular Posts