Obituari: Pakdhe Darsono

Aku percaya ini adalah salah satu gambar terkini dari kondisi pakhde. Terlihat kulitnya saja yang membungkus tulang. Sangat jauh berbeda dengan sepuluh tahun lalu ketika aku masih sering bercakap-cakap dengannya.

Ketika itu, tokoh “aku” sedang gundah, pusing sepusing-pusingnya. Ia mendapat kabar bahwa ayahnya di Blora terkena tbc dan keluarga mengharapkanya untuk pulang. Sebelumnya, surat sudah dikirimkan, “aku” sebagai anak pertama, kebenggaan keluarga, atau juga pewaris nama, setidaknya paling tidak begitu harapan orang tuanya, sedang membesarkan hatinya yang baru saja keluarga dari neraka. “aku” jadi diliputi rasa serba salah. Sudah mengecewakan dan tak tahu bagaimana membalas(budi)nya, masih diharapkan kembali dan memulai semuanya kembali.

Tentu tak semudah itu pada akhirnya. Ketika sampai rumah, “aku” selain menghadapi rasa kikuk karena keterbatasannya, juga harus menghadapi atau memenuhi harapan orang tuanya, yang tentu saja tidak mungkin untuk ia kabulkan. Rasa rendah diri, minder, dan sebangsanya yang meliputi berlalu begitu kejam. Bahkan, “aku” pun tak sampai hati melakukan pembelaan.

***

Waktu itu, aku tidur tanpa dosa, lupa skripsi, lupa bacaan, lupa tulisan sampai mana. Enam jam sebelumnya, pukul 4.00 pagi aku baru tidur. Seingatku, gigiku kambuh lagi sampai aku tidak bisa tidur. Namun itu bukan apa-apa ketika ponsel pintarku, yang baru kuhidupkan kemarin lusa, berisi pesan singkat dari ibukku bahwa Pakdhe Darsono meninggal.

Nyawaku belum terkumpul sempurna waktu membaca pesan itu, dan seketika penuh seperti tersengat tawon. Aku berdiri menghidupkan lampu, membacanya lagi, dan lagi. Aku masih tidak percaya. Sedihku masih belum turun, rasa kehilanganku juga belum. Kubalas ibukku bahwa aku ingin pulang karena pakdhe adalah orang yang mengajariku menjadi laki-laki.

***

Masa itu, aku masih memakai kemaja putih dan celana biru pendek. Pakdhe menaruh tangannya dibahuku sambil berjalan menuju lobi sekolah baruku. Aku tidak cukup tinggi sebenarnya, hanya pakdhe saja yang pendek karena tingginya sama denganku. Yap, jumlah nilaiku yang mepet ternyata masih memungkinkan untuk mendaftar sekolah ini.

Dalam masa-masa ini, waktu bersama pakdhe jadi yang tersering, dan mungkin salah satu yang paling berharga. Karena menurutnya aku cukup cerdas secara emosional (padahal tidak juga, aku selalu marah tapi dalam bentuk yang berbeda), dia mulai menceritakan seluk beluk keluarga, terutama masa sebelum kelahiranku. Dan tentu saja, cerita soal ayahku (yang tak pernah kuketahui bagaimana senyumnya atau seringainya), pernah cekcok dengan ibukku. Aku tidak mengingat betul ceritanya karena posisiku saat itu sedang sakit. Pakdhe tidak cukup peka dalam melihat waktu bercerita, untuk cerita sepenting ini.

Pada saat itu, aku menyadari bahwa pakdhe berpikir aku berhak mengetahui tentang keluargaku yang sebenarnya. Dan memang pakdhe memiliki reputasi untuk berkata jujur. Ah, sungguh cerita yang sungguh sayang untuk dilewatkan.

Pada tahun kedua di sekolah baru, lingkungan baru, tempat tinggal baru, pakdhe tak lagi bersamaku. Suatu pagi, selepas dari kamar mandi, dia jatuh atau tepatnya salah jatuh sehingga memicu penyakit stroke. Aku yang pertama menolongnya, yang dimintanya untuk memanggil tetangga sehingga membawanya ke rumah sakit. Sejak saat itu, pakdhe tidak pernah lagi serumah dan bercerita tentang keluarga, wayang, juga masalah prinsip kepada anak baru gede yang mungkin belum masuk jika dinasehati tentang prinsip.

***

Sesaat sebelum berangkat sekolah, pakdhe memberikan kami beberapa koin (mungkin sisa dari belanja yang biasanya dipakai untuk membayar parker). Aku sungguh bersyukur. Sebelumnya aku tidak mendapat koin-koin itu jika tidak karena adikku yang juga ikut pindah ke sekolah yang sama denganku. Tak banyak yang bisa kubeli dari koin itu, tapi juga mau kuhabiskan untuk apa. Aku dari dulu memang bukan orang yang suka berbelanja.

Di tahun berikutnya, atau ketika naik kelas, jumlah koin kami bertambah. Seingatku, itu adalah (juga) ide adikku. Aku tidak berkomentar banyak seingatku. Berikan saja koinnya segera karena jika tidak diberikan pun aku tidak masalah. Aku ingin segera pergi ke sekolah berikutnya. Masih premature tetapi menggebu-gebu. Yang tidak kusadari adalah kemangkatanku juga memisahkan lagi dengan pakdhe.

Seingatku aku sudah jarang mengunjungi rumahnya karena beberapa ekstra kurikuler kuambil hingga sore hari. Tidak ada alasan untuk menambah capaikku. Toh aku juga harus belajar lagi malamnya karena pelajarannya cukup banyak (meskipun waktu itu lebih banyak kuhabiskan menggambar Naruto dan motor).

***

Hampir saja aku terbebas dari ajakkan yang sumpah mati akan kutolak, akhirnya aku tetap ikut juga. Seumur hidup, aku tidak pernah ikut acara arisan dari keluarga dosen tempat pakdhe bekerja. Selalu sja adikku, yang perempuan, yang diajak karena waktu itu memang si bos besar belum tumbuh besar.

Di acara yang isinya penuh makanan itu, aku mandapatkan siapa diriku yang lain (atau mungkin sesungguhnya). Aku sungguh pengecut. Tersebab malu, entah itu ditanya-tanya, bertemu orang baru, atau ada situasi yang lucu, aku memalingkan mukaku ke arah belakang. Aku tidak sanggup menatap lawan bicara pakdhe atau budhe. Dalam ingatanku yang masih cukup jelas, hanya ada gambar tangga dan lukisan. Sesekali, kulihat adikku yang terlihat percaya diri dengan kepolosannya. Entah apa yang membuatnya nyaman di tengah omong kosong itu.

Tentu aku memaklumi diriku yang waktu itu. Bagaimanapun masa itu aku memang dikenal cukup pengecut. Jika hendak mengatakan sesuatu, harus ada yang memancing. Misalnya, ketika diantar pulang ke rumah, harus ditanyai dulu siapa yang ingin aku minta antarkan. Dan jawabanku paling cuma “p”, yang berarti singkatan dari “pakdhe”. Hmm, aku sungguh pengcut.

***

Semenjak stroke bertambah kian kejam, aku juga belajar bertambah kejam. Aku sungguh malas mengunjungi pakdhe dengan kondisinya yang seperti itu; marah-marah tak terkendali, tiba-tiba menangis; dan berkata-kata yang membosankan lagi menyebalkan. Sungguh aku kehilangan pakdhe yang jenius, yang sangat aku hormati. Dia adalah contoh nyata bagaimana bekerja keras itu membuahkan hasil. Anak desa yang jauh lebih pelosok dari rumahku, dia sungguh berani sekolah di pusat kota seperti Jepara, lalu melanjutkannya di Jogja. Aku mengingat betul kalua aku masih saja pengecut di usia seperti itu, di usia ketika dia menceritakan pengalamannya.

Jika kubayangkan sosok orang tua yang ingin kuaplikasikan, maka pakdhe adalah template pertama. Tahu banyak hal seperti bola, wayang, lagu-lagu sinden atau bahkan mantra-mantra yang diucapkan dalang. Sungguh aku ingin menguasai semua itu. Menidurkan anakku dengan tembang jawa, menonton Argentina vs Jerman tapi masih bercerita soal Maradona, sungguh hal-hal yang jauh dari isu masa itu namun terasa seksi karena sangat informatif. Jelas pakdhe adalah figur yang sangat karismatik.

Tak jelas apa yang pada akhirnya pakde harapkan dariku. Hingga saat-saat terakhirnya, aku masih menjadi orang yang brengsek. Aku mulai sadar, merasa malu dan rendah diri bahwa aku mungkin tidak sanggup menuruti harapan pakdheku jika saja dia menyebutkan satu atau dua hal. Walaupun begitu, aku tetap tidak bersyukur. Sebrengsek dan sepengecutnya aku, jauh di dalam lubuk hatiku, aku ingin pakdhe memberikan koin yang tak seberapa, yang orang lain mungkin tak bakal peduli tentang koin atau hal lainnya. Dan ketika sekitar dua bulan lalu aku bertemu, aku masih brengsek. Tapi tak kutemukan aura cemas, kecewa, dan marah kepadaku. Aku masih mengira pakdhe akan percaya pada pilihanku. Dan kini aku sadar, mungkin pakdhe adalah satu-satunya orang yang akan mendukung orang brengsek sepertiku untuk mencari jalanku sendiri. Perlukah kepercayaan sebesar/seberapa ini?

Terma kasih, pakdhe. Aku akan mencoba sekuatku, sebisaku.

***

“Seperti mendiang kawan kita itu misalnya— mengapa kita harus bercerai berai dalam maut. Seorang. Seorang. Seorang. Dan seorang lagi lahir. Seorang lagi. Seorang lagi. Mengapa orang-orang ini tak ramai-ramai lahir dan tak ramai-ramai mati? Aku ingi dunia ini seperti Pasarmalam.”

Tokoh “aku” menitikkan air mata. Ayanya yang telah lama menderita itu akhirinya mati. Ada beberapa persaan campur aduk terhadap kehilangan. Dan apakah perasaan kehilangan ayah bisa digambarkan? Aku tidak akan mencoba merasakan apa yang dirasakan tokoh “aku”.  Sekalipun aku bernasip sama dengannya, dengan dimensi dan malah yang berbeda tentunya, aku tidak ingin seperti tokoh “aku”. Aku akan mengunjungi Pasarmalam dan memperhatikan semua orang. Aku hanya akan diam saja dan mendengarkan sayup-sayup orbolan orang. aku akan senyum saja jika ada yang bertanya “mengapa” ata “ada apa” kepadaku. Aku yakin pada saat itu juga pakdhe akan tersenyum padaku.




Toer, Pramoedya Ananta, 2003, Bukan Pasar Malam, Jakarta: Lentera Dipantara

Comments

Popular Posts