Agama, Makanan yang Belum Matang?




Beberapa tahun ini, aku sedang mengidap lelah pikir yang melemaskan kepala dan hati. Untuk mudahnya, sebut saja obat kepala adalah buku, sedangkan hati adalah cinta. Membeli buku dan cinta sudah kulakukan, terlalu berlebihan malahan. Namun, setelah berbagai usaha memikirkan dan merasakan, obatku ternyata tak kunjung datang. Apa aku salah beli?

Ternyata, setelah kudalami, penyakitku terletak di jiwa, (mungkin, dan semoga mungkin) sesuatu yang lebih tinggi dan dalam ketimbang cinta di hati. Jiwaku terasa tak tenang. Aku ingin meledak-ledak, tapi dalam sekejap, aku bisa langsung sedih. Apa aku sakit jiwa atau gila? Mungkin iya.

Diagnosa termutakhirku merujuk pada bacaanku yang semakin membuatku pusing, terutama masalah ideologi (atau yang berhubungan dengan agama). Sebagai anak yang terlahir di desa yang sangat relijius, aku tumbuh jadi bocah yang tak terlalu relijius, dan dewasa tak relijius. Gejala ini semakin parah ketika buku-buku ilmu pengetahuan brengsek yang menelanjangi ideologi lama dan kenangan bertumbuh kembang. Akibatnya, jika membahas agama, aku jadi pribadi yang cukup sentimentil.

Belakangan, aku secara terang-terangan menyalahkan agama sebagai pembawa kemunduran zaman. Agama menghalangi terciptanya kehidupan yang serasi, selaras,seimbang dengan konteks kekinian. Ilmu pengetahuan yang dikekang akan muak, hak asasi akan memberontak, dan masa depan akan memukul mundur.

Agama juga berperan penting pada terciptanya era ketidakpercayaan sebagai medium propaganda yang moncer. Sudah tidak mau mendukung kemajuan, malah bawa mundur ke belakang.

Itu pendapat terliarku. Tentu saja ada banyak sekali agama, baik yang formal maupun tidak formal, yang selalu memperbarui diri. Masalahnya, media kita yang satu ini cukup susah diberi tahu karena berasaskan kepercayaan. Kalau berbasis data yang kuat sehingga muncul kepercayaan sih tidak masalah. Lha kalo kepercayaan buta?

Sampai paragraf di atas, aku kemudian berpikir jika pelaku agama lah yang paling pantas untuk kujatuhi kemarahanku. Jika agama kita posisikan sebagai jalan untuk, misalnya, menuju Tuhan, tentu tidak akan ada masalah. Sebab, pakai jalan mana pun tujuan kita sama. Jika ada ribut, berarti itu salah si pejalan ini yang terlalu serius.

Namun,  tetap saja agama berpengaruh pada pertikaian di jalanan. Loh, (gimana sih)? Orang yang berkendara cuma mengikuti jalan. Di jalan, dia bisa melakukan apa saja semaunya, termasuk ugal-ugalan. Jalan yang lurus dan tidak memiliki perangkat keamanan, sangat mudah untuk dilanggar. Artinya, secara tidak langsung agama terlibat dalam fungsi dan konstruksinya sebagai jalan.

Apa? Jahat! Ya, aku memang jahat. Aku menduga memang agama itu sendiri belum jadi jalan yang benar-benar aman untuk dilalui. Kalau orang sains populer akan bilang "usang". Perlu banyak lampu yang diganti kalau aku melanjutkan.

Apakah agama memang jalan yang lampunya sudah banyak yang mati? Obat yang tidak melalui uji medis? Mobil yang tidak memiliki spion dan sabuk pengaman? Atau, memang hanya makanan yang belum matang?

***

Beberapa menit lalu aku membaca tulisan menarik dari Neng Dara Afifah, dosen dan aktivis perempuan, di situs opini Qureta berjudul Spritualitas, Agama-Agama dan Kasus Gatot Brajamusti. Tulisan ini sangat menarik karena membicarakan sempalan-sempalan spiritualitas baru selain yang sudah diatur dalam undang-undang. Salah satu penyebab kemunculannya adalah kejenuhan kepada agama dewasa ini. Jadi, apakah aku termasuk orang yang lelah dengan agama sehingga ingin mencari spiritualitas baru? Misalnya saja seperti korban-korban Gatot Brajamusti?

Hahahaha.....

Mari.

Baiklah. Neng Dara membuka tulisan dengan pentingnya spiritualitas dan memberikan perbedaan dengan agama. Menurutnya, agama dan spiritualitas seperti dua mata uang, yang selalu berhubungan meski tidak selalu. Spiritualitas bisa dibilang lebih luas ketimbang agama karena menyerap semua cabang ilmu yang tujuannya untuk pengembangan pribadi, kesejahteraan, dan kebahagiaan. Sedang agama bisa salah satu yang masuk di dalamnya.

Dia juga menyitir Jalaludin Rumi yang berpendapat bahwa jiwa juga membutuhkan makanan, dan makanan itu adalah cahaya Tuhan. Apa itu cahaya Tuhan? Ya spiritualitas itu. Semacam semangat, keberanian, atau nafas. Untuk itu setiap orang butuh makan/spiritualitas.

Yang terpenting bagiku, spiritualitas tidak selalu berujung pada agama. Agama hanya bertugas sebagai makanan. Jika aku sudah enek dengan makananku yang terlalu manis, misalnya, aku berhak menundanya dan menyimpannya untuk dimakan di hari kemudian. Apa bisa seperti itu? Ketidakterikatan pada agama formal atau New Age, barang kali adalah yang paling pas dengan konndisi kejiwaanku sekarang, makanan untuk spiritualitasku.

Harus kuakui, aku termasuk orang yang disebut Neng Dara sebagai orang yang lelah dengan agama. Tentu bukan agama yang menjemukan sehingga membuatku lelah dan bosan. Adalah cara-cara dari memakan cahaya Tuhan inilah yang tak kusuka. Malahan, pikirku, meributkan agama itu seperti meributkan makan pakai tangan kiri boleh apa tidak. Dari tradisi dan nilai keagamaan islam, atau mungkin jawa, makan harus pakai tangan kanan. Kenapa? Apa alasannya? Kalau pakai tangan kiri, apa para pecinta kuliner cahaya Tuhan mau menghormati? Inilah persoalan selama ini. Cuma perkara makan!

Tentu akan sangat menyebalkan jika sampai ribut-ribut hanya karena cara makan. Yang satu memaksa pakai tangan kanan, yang satu tidak melarang pakai tangan kiri.  Entah itu disebut akidah, hukum, kultus, dan lainnya, kita tetap tidak menerima sikap keras kepala yang memonopoli kebenaran. Meributkan cara makan sama saja tidak konsisten dengan esensi dari memakan cahaya Tuhan. Yang niat dari makan ini adalah terpenuhinya dahaga akan cahaya. 

Berarti,  Gatot Brajamusti adalah orang paling brengsek di dunia karena telah menjual makanan yang beracun dan tidak layak konsumsi. Dan yang lebih berdosa lagi adalah kita karena membiarkan orang seperti Gatot menjualnya.

Predikat makanan beracun seperti spiritualitas gubahan Gatot juga jadi masalah berikutnya. Jika cara makan yang beribu-ribu tahun diributkan, begitu juga dengan menentukan kriteria makanan yang beracun. Keduanya selalu beriringan meramaikan pertikaian masalah makan. Sebab, kriteria manis dan pahit tergantung dari lidah siapa yang memakan.

Untuk itu, aku (yang entah memang lelah atau apa) tertegun membaca tulisan Neng Dara. Semacam mengingatkan perkara makan ya makan. Spiritualitas itu makan, caranya ya terserah pelanggan. Tidak perlu seserius itu jika ada perbedaan cara makan. Yang penting kita yakin memilih makanan yang bergizi sekaligus membahagiakan. Spiritualitas itu perlu dan penting, tapi tidak seserius berbuat dosa pada ibu.

Terakhir, aku ingin menyitir kalimat penutup atau pertanyaan penutup dari Neng Dara. Berikut: 

Bukankah spritualitas, agama-agama dan ajaran universal lainnya hadir untuk menyampaikan tentang pentingnya memelihara jiwa, akal budi, harta benda, serta martabat dan kehormatan manusia? Wallahu A'lam.


gambar: https://goo.gl/mZzDKG

Comments

Popular Posts