Ika Waringin Jati #1: Sekolah Negeri atau Aliyah?
Pagi itu, Ika tampak ragu dan kacau, jauh dari biasanya yang selalu percaya diri seperti singa yang berjalan di antara rusa. Karena memang seperti itulah Ika, semua orang seperti mangsanya yang empuk jika diajak berdebat. Setidaknya, semenakutkan itu untuk anak yang baru lulus SMP.
Meskipun begitu, tak berarti dia gadis yang suka menabrak aturan. Perintah orang tua akan selalu dia laksanakan, meskipun harus berdebat berjam-jam dan dia yang menang. Barang kali, kelulusan inilah yang dikhawatirkan Ika. Pilihan mana yang harus dia tempuh, dan apakah memang dia sendiri yang akan memilih?
Dengan wajah seram, dari warna dan bentuknya, Ika menabrak bapaknya dengan kalimat-kalimat yang kencang dan tajam.“Pak, aku ga mau kalau disuruh nenek masuk Aliyah. Bapak tahu aku itu pengen jadi dokter kayak bulik. Kalau masuk sana, kesempatanku pasti jadi kecil. Kenapa sih perempuan ga bisa bebas? Kenapa sih agama suka naruh perempuan di pojokan?”
“Loh, loh, loh. Apa to nduk kok tiba-tiba mak nerocos gitu. Jadi kamu dari tadi kayak gelandangan diciduk itu, ehm, ini sebabnya?” Bapaknya mencoba menenangkannya dengan menangkap kedua pundaknya dan mendudukkannya di kursi di sebelahnya.
“Lha terus gimana? Bapak setuju sama nenek sama ibuk?”
“Yang mau sekolah lak kamu to? Yaudah kalau maumu itu. Nanti biar bapak yang ngomong sama nenek dan ibukmu. Nggak usah kuatir.”
“Bener, Pak? Halah wong yang dulu katanya mau beliin handphone aja jadi gara-gara dibilang ibuk sama nenek anak cewek ga usah main-main hape.”
“Yang dulu itu ya beda. Hape emangnya buat apa sih? Wong kamu belum butuh kok. Bapak lho yakin, kamu ranking satu terus itu ya gara-gara kamu ga mainan hape. Coba aja inget temenmu, lak pada punya hape semua to? Lak nilainya busuk semua to?”
“Ya kalau nanti butuh, Pak. Nanti kalau ada pengumuman kan bisa tinggal buka grup. Biar ga keteteran nanti.”
“Iya, Bapak tahu. Sudah Bapak jatahin kamu buat beli buku sama hape baru. Biar kalau masuk sekolah kamu ga malu ga punya hape. Sekarang, mau sekolah di mana kalau ga Aliyah?”
“Bentar, Pak, aku beli hape bukan buat gaya-gayaan. Ga urusan sama malu. Hiiih, Bapak. Kalau sekolah, aku pengennya di sekolahnya Bulik dulu.”
“Yakin, kamu? Nilaimu sudah dicek? Bisa masuk sana?”
“Yakin. Wali kelasku ngasih bocoran nilaiku, katanya aku mau dikasih hadiah jadi rangkin satu.”
“Hadiah? Bapakmu kok malah ngga ngasih apa-apa. Yaudah nanti sore.”
***
Selama Ika dan bapaknya bercakap-cakap soal sekolah di ruang tamu, ibu dan neneknya mendengar dari ruang tengah. Maklum saja, setiap obrolan di depan rumah pun akan terdengar sampai dapur. Nenek Ika yang tampak geregetan ingin nimbrung ke ruang tamu tapi dihentikan menantunya.
“Ga usah lah, Buk. Biar dia mikir-mikir lagi, sampai mana sih karep-nya. Nanti malam kita omongin juga alasan kita. Biar dia tahu dan mau mikir sama prihatin.”
“Ya, tapi apa suamimu mau? Anakmu itu dimanjain terus lho. Sering ngelawan orang tua. Kalau dibilangi bales nyeramahi. Ya harus ditegasin lah, nduk. Kita ini tanggungannya besar. Kalau nuruti sak karepe, ya ga jadi urip.”
“Iya, buk, tapi nanti malam aja. Sekarang biar dia keluarkan aja alasannya sama bapaknya.”
***
Seperti biasa, sehabis maghrib, waktunya makan malam bersama. Biasanya Bapak duduk di kursi goyang yang sudah usang dan pegang remot tv. Ibuk duduk di kasur lantai sambil bawa piring dengan porsi besar karena harus menyuapi anak laki-lakinya yang tahun ini akan masuk SD. Nenek duduk di antara menantunya dan Ika. Setiap hari, posisi duduk selalu seperti ini. Ada kalanya posisi ini berguna untuk Ika jika dia harus melarikan diri dari nenek dan ibunya.
Bapak mematikan tv. Lalu menyampaikan apa yang tengah dibicarakan bersama Ika tadi siang. Sekolah adalah pemecah masalah. Untuk itu, sekolah mana pun akan ditempuh bila perlu. Ika akan masuk ke SMA negeri di pusat kota sesuai pilihannya. Begitu kira-kira kalimat Bapak membuka forum yang seketika hening.
Adik ika yang kini akan kelas satu SD tampak paham apa yang terjadi dengan keheningan ini. Sambil menolah-noleh, dia berlari menuju kamarnya. Membanting daun pintu hingga membuat nenek terperanjat.
“Nduk, Bapak sekarang ini sudah tidak punya banyak uang. Adikmu minggu depan mau daftar sekolah, yang biayanya juga mahal. Angsuran buat motor Bapak itu juga belum lunas. Kalau kamu bisa masuk sekolah negeri, biayanya pasti lebih murah. Tapi biaya hidupmu kalau kamu harus ngekos, buat makan, dan bulanan lainnya? Kamu juga tahu hidup di kota itu beda. Biaya hidup satu orang di kota sama kayak empat orang di desa. Kita mau ngongkosin kamu dari mana? Ibuk bilang gini bukannya ngelarang. Tapi kamu juga harus tahu posisi keluarga kita.”
“Wes to, Nduk, kamu ini cah wedok. Kamu mbo nurut sama yang lebih tua. Kenapa sih kalau kamu masuk Aliyah? Sama-sama sekolah kok. Gurunya juga dibayar. Pelajarannya juga sama, ditambah pelajaran agama malah. Kurang apa, Nduk? Lagian, cah wedok itu ya berbakti sama suami. Caranya biar bakti gimana, ya belajar agama. Ya kayak ibukmu ini. Kalau mau kayak bulik, lihat aja bulik sekarang gimana? Sudah tua tapi belum nikah. Kamu mau? ”
“Mau. Bulik kan mandiri. Bulik bisa hidup sendiri. Aku juga bisa, mbah!”
“Lhadaaalaaah. Anak wedok ya harus bersuami. Kalau jadi dokter terus duitmu banyak emangnya buat apa? Suami ga punya, anak apalagi!”
“Maksudnya mbah itu gini lho, nduk, hidup itu ya perlu serawung. Terlebih kamu masih punya keluarga. Kalau ibuk udah gabisa jalan, bapak ga bisa jalan, misalnya, siapa yang ngrawat? Kalau kamu punya suami, dia kerja, kamu kan bisa ngrawat bapak sama ibuk. Keluarga itu penting, nduk.”
“Ya kalau aku jadi dokter bapak-ibuk ga perlu kerja. Di rumah aja. Nanti semua keperluan kusiapin kan bisa. Pakai kursi roda kan bisa….”
“Sudaah, sudah..” Bapak menyela Ika, “buk, anakmu ini punya cita-cita, tugas orang tua ya bantu dan dukung. Aku kok malah seneng kalau dia punya pikiran seperti itu. Kalau dengerin dia cerita, rasanya itu kayak balik pas zaman muda dulu. Zaman pas aku juga masih punya cita-cita. Soal duit, nanti tak ngomong sama buliknya, karena aku yakin dia mau bantu. Kalau perlu, biar dia tinggal sama buliknya.”
“Ngene lho, Nang. Ya aku paham dia punya cita-cita, tapi ya harus ngerti sama kondisi keluarga. Ga bisa seenaknya karena kita bukan orang kaya. Karepku masukin dia di Aliyah itu ya biar dia pinter agama. Kalau lulus Aliyah masuk dokter kan gapapa. Soal minta bantuan adikmu, ya syukur kalau gitu. Tapi aku ga setuju dia mau tinggal sama buliknya. Aku pengen anakmu pinter ngaji, bukan lupa sama agamanya kayak buliknya.”
Adik Ika membuka pintu kamarnya lalu teriak-teriak seperti vokalis band metal kalau buliknya di depan rumah. Dia berlari ke depan pintu menyambutnya. Dia tahu buliknya sering bawa oleh-oleh.
“Siapa yang ngundang dia datang?” nenek Ika tampak kaget. Dia belum bersiap berbicara dengan anaknya yang pernah membangkang dari perintahnya.
“Aku. Mbah harus ngomong dulu sama bulik biar tahu bulik itu kayak apa.”
“Nggak! Ra sudi. Cah ra duwe agama. Lali karo wong tuwane…”
“Loh, kamu ngehubungin bulikmu pake apa?” tanya ibuknya bingung.
“Tadi sore aku sama Bapak pergi beli hape terus ngehubungin bulik. Aku sudah cerita soal in kok. Gini sih, Buk, semuanya sudah tak pikirkan. Nanti ibuk sama mbah bakal jawab apa aku sudah tahu. Makanya ini jalan keluarnya: ngomong sama bulik. Dan, Mbah, Bulik itu baik. Dia ke sini itu berarti dia peduli sama keluarga. Kalau agama ya itu urusan masing-masing. Kalau bulik kelakuannya baik masak ga boleh masuk surga?”
“Assalamualaikum.”
Comments
Post a Comment