Diponegoro



“Cicitmu ini kelak, ketahuilah, sudah kehendak Yang Maha Kuasa, akan menjadi tokoh dalam peristiwa besar. Ia akan menyebabkan kerusakan dahsyat pada Belanda, lebih dahsyat dari yang pernah kutimbulkan dulu. Sedang kelanjutannya wallahu’alam, tak seorang pun tahu.”
Nujum Sultan Hamengkubuwono I, Eyang Buyut Diponegoro

Inilah sabda dari sultan sepuh, Sultan Mangkubumi, pada permaisurinya yang mengisyaratkan cicitnya akan melampaui kerusakan yang ia buat pada perang Giyanti, tahun 1746 dan 1755, yang mengakibatkan dipecahnya Mataram menjadi Surakarta dan Yogyakarta. Benar saja, ramalan ini pun diilhami dengan baik oleh sang cicit, Pangeran Diponegoro, yang menjadi lakon besar yakni sebagai pemimpin Perang Jawa, tahun 1825 hingga 1830. Jauh sebelumnya, ramalan juga datang dari Sultan Agung (1613-1646), yang menerangkan bahwa Belanda akan memerintah di Jawa selama 300 tahun, meskipun keturunan raja Mataram akan bangkit melawan, akhirnya ia akan dikalahkan.

Demikianlah sang penulis, Landung Simatupang, merumuskan sebuah buku dari tiga naskah tuturan dalam pementasannya yang bersumber dari Kuasa Ramalan karya Peter Carey dan Babad Diponegoro karya Pangeran Diponegoro. Tentu hal yang sangat “alternatif” mengingat pentas yang dilakukan Landung merupakan tuturan, tradisi khas Melayu, bukan sebuah opera tradisi Yunani kuno. Suatu cara penikmatan lain dari pementasan atau naskah bertutur ini. Terlebih, sumber cerita adalah naskah akademis yang dikerjakan selama 40 tahun  oleh Peter Carey dan otoboigrafi asli Pangeran Diponegoro yang berbentuk puisi Jawa. Dalam hal ini, penulis terlihat sangat cekatan dalam menggabungkan sebuah naskah akademis dan puisi. Alhasil, sebuah sejarah pun datang dalam bentuk narasi yang populer.

Melalui narasi ini, Landung mengangkat babak dari awal kelahiran Sang Pangeran, pengaruh-pengaruh dari sikap Sang Pangeran, situasi politik Perang Jawa, hingga saat-saat terakhirnya di pengasingan. Semua cerita merupakan himpunan dari tiga judul naskah berbeda yang diambil dari pementasan di beberapa kota bersejarah bagi Sang Pangeran.

Lewat tuturannya, Landung tidak bercerita tentang untain kronik kalah-menang seperti buku sejarah. Bahkan peristiwa Perang Jawa yang pasti akan sangat “seru” bila diceritakan tak ia sebut.  Ia lebih memilih alur yang lebih besar. Yaitu sisi emosional Sang Pangeran. Saat di mana dia diasuh oleh Ratu Agung sejak umur tujuh tahun, di Tegalrejo yang jauh dari istana ia justru menemukan diri sebagai pangeran yang “merakyat”. Ada lagi kisah rasa malu bila rencananya menjadi raja seluruh jawa gagal. Dan tentu yang paling besar, ketika dia dikhianati oleh Jenderal De Kock. Yang justru terjadi pada waktu selesai bulan puasa, prosesi adat ketika silaturahmi dari yang muda kepada yang tua. Saat itulah dia ditangkap.

Diari penyajian cerita, episode masa kecil Sang Pangeran tampak Landung coba tonjolkan. Pembentuk dasar sikap Diponegoro, Ratu Ageng, adalah seseorang yang berwawasan kenegaraan, kritis, keras, dan berlatar belakang erat dengan agama. Tak jarang Ratu berselisih dengan putranya yang memerintah-akhirnya Ratu pergi meninggalkan Yogyakarta bersama Sang Pangeran. Salah satu alasannya adalah sang Sultan kedua jarang mengunjungi Masjid Agung, tempat ibadah resmi kerajaan. Selain itu, pertautan kekerabatan yang sublim dengan tokoh-tokoh keagamaan menjadikan pribadi Sang Pangeran begitu “pas”. Tumbuh besar bersama rakyat pada kepindahannya di Tegalrejo membuatnya kian dicintai. Dan inilah yang ditakutkan oleh Gubernur Jenderal Van den Bosch sehingga memaksa Sang Pangeran harus diasingkan karena terlalu berbahaya secara politik.


Sisi lain dari Diponegoro pun juga terungkap, yakni kegemarannya menulis dan membaca. Otobiografinya Babad Diponegoro merupakan syair panjang ingatannya tentang kesejarahan Mataram dan riwayat hidupnya sendiri. Produktivitasnya pun mengagumkan, yakni lebih dari seribu halaman ia hasilkan. Ia sendiri menulis bahwa dirinya adalah sastrawan. Buah pikirannya akan kekal abadi tidak bisa diruntuhkan seperti benteng atau puri. Untuk bacaan, kepada Jenderal Selebes di pengasingannya, dia mintakan buku-buku juga naskah-naskah berbahasa Jawa. Bahkan untuk pendidikan anaknya, dia mintakan kitab-kitab yang biasa dikaji pesantren-pesantren di Jawa. Hinga akhir hayatnya (tulisannya), Sri Nalendra atau Pangeran Diponegoro tetap menunjukan semangatnya yang terus berkobar.

Barangkali, Sri Nalendra adalah salah satu contoh pemimpin besar yang memiliki sisi lain dekat dengan dunia literasi. Sudah mafhum jika Sukarno, Hatta, Syahrir, atau Tan adalah penggemar buku. Begitu juga pemimpin besar di dunia. Misalnya Napoleon yang kemana-mana bawa buku. Atau Lincoln yang meramalkan pecahnya perang sipil gara-gara buku.

Aku berandai-andai, buku appa saja yang Pangeran baca di umur 20 tahun, atau, sudah berapa tulisan atau buku yang dia tulis di umur segitu. Aku bertaruh karya-karya Pangeran tidak hanya berhenti atau terkumpul di babadnya yang agung. Cerpen, esay, atau mungkin juga resensi pasti pernah ia tulis. 


sedikit direvisi dari lama yang sebelumnya pernah dimuat di lpmkentingan.com atau sekarang berubah jadi saluransebelas.com
gambar: https://goo.gl/5FQHdM

Comments

Popular Posts