Probabilitas Tuhan

Bertahun-tahun, aku memang hidup dalam kebimbangan soal keyakinan. Aku akan tegas saja mengatakannya, menurutku, agama sudah hampir mencapai batasnya. Harus ada pembaharuan bila ingin terus kompatibel dengan zaman. Salah satu caranya adalah meligitimasi semua produk sains dengan segala bukti-buktinya.

Mungkin akan terjadi kegaduhan yang besar bila itu terjadi, tapi paling tidak agama sudah menunjukkan sikap rendah hati. Perkara tuhan yang ditolak mentah-mentah oleh sains sebaiknya juga tidak dianggap sebagai musuh. Sebaliknya, akan lebih tepat untuk bersikap seperti anjuran Bertrand Russel agar agama bisa menunjukkan tea pot mereka.

Bila hal tersebut masih tidak mungkin, atau mungkin semakin mendapat tekanan, barangkali agama masih bisa tumbuh dengan perlindungan probabilitas. Dengan jalan bahwa agama juga menerapkan temuan-temuan sains. Hanya dengan probabilitas ini kemungkinan sains akan, paling tidak, menghargai agama. 

Probabilitas yang kumaksud adalah spektrum dari Richard Dawkins yang menguji eksistensi tuhan dengan hipotesa-hipotesa. Eksistensi atau non-eksistensi merupakan fakta ilmiah tentang alam semesta yang dapat ditemukan dalam prinsip atau dalam praktik.

"Dan sekalipun eksistensi Tuhan tidak pernah terbuktikan atau tersangkal secara pasti dalam satu atau cara lain, bukti-bukti dan alasan-alasan yang ada mungkin menghasilkan suatu perkiraan probailitas jauh kurang dari 50%"

Susunan spektrum probabilitas antara theist dan atheist akan merangsang penilaian manusia pada kepercayaan dan penalaran.  Spektrum ini menurutku bisa menjadi data para agamawan untuk bersikap yaitu selaras dengan ilmu penetahuan. Mengingat, dengan spekturm ini sebenarnya sains masih memberi tempat untuk agama agar berkembang. Berikut spektrum tersebut:

  1. Theis yang kuat. Probabilitas Tuhan 100 persen. Dalam kata-kata C.G. Jung, "Saya tidak (hanya) percaya, saya tahu."
  2. Probabilitas yang sangat tinggi namun kurang dari 100 persen. Secara de facto theis."Saya tidak bisa mengetahui dengan pasti, namun saya amat sangat percaya pada Tuhan dan menjalani kehidupan saya berdasarkan asumsi bahwa ia ada."
  3. Lebih besar dari 50 persen namun tidak jauh lebih besar. Secara teoretis agnostik, namun cenderung mengarah pada theisme."Saya sangat ragu-ragu, namun saya cenderung percaya pada Tuhan."
  4. Tepat 50 persen. Sepenuhnya agnostik tidak memihak. " Eksistensi dan non-eksistensi Tuhan sama-sama mungkin."
  5. Kurang dari 50 persen tapi tiak terlalu kurang. Secara teoretis agnostik, namun cenderung mengarah ppada atheisme."Saya tidak tahu apakah Tuhan ada, namun saya cenderung bersikap skeptis."
  6. Probabilitas yang sangat rendah, namun lebih dari nol. Secara de facto atheis."Saya tidk bisa mengetahui dengan pasti, namun saya pikir Tuhan sangat tidak mungkin dibuktikan, dan saya menjalani kehidupan saya berdasarkan asumsi ia tidak ada."
  7. Atheis yang kuat."Saya tahu tidak ada Tuhan, dengan keyakinan yang sama sebagaimana Jung tahu ada sesuatu."
Pemeluk agama bisa dipersilakan mendaku nomor mana mereka sebenarnya. Pemeluk akan menalar  Tuhan dengan probabilitas nomornya, lalu menariknya pada kehidupan sehari-hari. Di sini, agama tidak diperkenankan untuk ikut campur. Semua dibebaskan kepada pemeluk untuk menilai diri dan tuhannya. Nomor dua misalnya, telah menjadi penilaianku selama ini. Ketika melihat spektrum ini dan persoalan eksistensi Tuhan, sejujurnya penilaianku pada Tuhan bisa langsung merosot pada posisi yang aman seperti 4, bahkan 5.

Ini berarti penting karena perkara eksistensi atau non-eksistensi ke depan akan menjadi perkara yang sangat serius. Agama akan memperbarui diri dan tentu saja akan ada pergolakan di dalam komunitasnya. Jika spektrum ini diterima, seharusnya para agamawan akan legowo dan akan semakin cerdas untuk bertarung dalam hal wacana. Jika tidak mau berubah, tinggalkan saja.


The God Delusion, Richard Dawkins (Banana, 2013)

Comments

Popular Posts