Sakit, Rumah Tangga, dan Pekerjaan

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgYjNFIdkBeEJfdsg7NLw-G9uyFamDcQw5dTJGyfM_HaEEjdzPMh1rONCsBf_gW9cp6EIxMs0vr_Zye7jX_3u_fy6QOp_G_zvjquYYF4lhIIWrUTeOtix9bmsBE4gcaSkrdKyETtVEN42M/s1600/B3ae3ewCYAACr5q.jpg


Pernikahan selama lima tahun hampir buyar hanya dalam waktu tujuh hari dua puluh empat jam. Penyebabnya cuma: saling mengenali diri dan pasangan semakin dalam. Dan percayalah, memang perubahan mendadak seperti inilah yang bisa merubah suatu hubungan.

Mengumpul dalam daur ruang dan waktu, kadang polemik rumah tangga menjadi saat-saat yang dirindukan. Alasan kesibukan, atau yang paling kenes, dedikasi, sudah menjadi fakta penggoyang suatu hubungan. Setidaknya hal itu berlaku untuk masyarakat elit. Setidaknya itu yang ingin dicuplikkan sang sutradara, Fajar Nugros dalam film 7/24.

Si suami bernama Tyo (Lukman Sardi), seorang sutradara, dan si istri Tania (Dian Sastrowardoyo), seorang pekerja kantoran yang jabatannya susah diingat dan diucapkan. Pada intinya, keduanya memiliki semangat yang sama dalam hal etos kerja. Totalitas mereka inilah yang akhirnya membawa mereka jatuh sakit. Tyo terkena Hepatitis A, sedangkan Tania terkena Typus. Keduanya dirawat di rumah sakit dan di ruang yang sama. Dan inilah awal mula percekcokannya.

Tyo sang sutradara dicuplikan sebagai pekerja yang ulet, mengomentari kerja semua anak buahnya, mulai dari artis yang tidak bisa merasakan cinta, hingga kamera yang tidak focus. Tania, yang entah apa jabatannya, terlihat sangat sibuk dan menjadi orang penting dalam perusahaannya sampai-sampai bosnya (Ari Wibowo) memintanya untuk meeting dengan klien padahal dia di rumah sakit.

Kegenitan yang mungkin sudah jarang dilakukan oleh pasutri super sibuk terkembang kembali. Sok perhatian dan telaten kepada pasangan terlihat terlalu berlebihan. “Hepatitis dan tipes harus istirahat total”, kemudian Tania menyimpan handphone suaminya dan melarangnya memikirkan pekerjaan.

Ternyata, Tyo cemburu karena Tania lebih leluasa dalam menerima teman-teman dari kantornya untuk sekadar mengobrolkan pekerjaan. Tyo memang dilarang Tania menerima tamu karena menurutnya bakal menganggu istirahatnya. Dinamika terjadi, sama-sama keras kepala, pandai berargumen, tanggap dan berhasrat tinggi, hubungan keduanya semakin keruh.

“Aku sutradara!” Tyo mencoba menepis perhatian istrinya yang barangkali dia anggap sedikit meninggalkan tanggung jawabnya. Tania mafhum suaminya pekerja keras dan percaya bahwa cara untuk membantunya adalah dengan mengistirahatkannya secara total. Mungkin rasa pengertian kurang digali lebih dalam oleh Fajar Nugros. Pemilihan konflik seperti ini kelihatan klise karena pembuatan film tentunya terpaut dengan tenggat waktu. Sudah sewajarnya sutradara ingin memaksimalkan waktu yang ada sekalipun dia sakit. Tidak perlu dibentuk karakter Tania yang overprotective karena telah dijelaskan alasan mereka berpasangan adalah kebebasan dalam menentukan pilihan, termasuk dalam hal karir. Tania yang diberi keistimewaan itu tentu lebih sadar menghargai dedikasi suami pada pekerjaannya.

Namun tidak menjadi masalah. Fajar memberikan konflik-konflik kecil yang membantu alasan lain selain hepatitis A yang harus istirahat total, misalnya wanita lain. Rekan kerja seperti artis yang cantik, baik, bahkan peduli dengan sutradaranya, siapa yang tidak bikin cemburu si istri.

Itu adalah satu dari lain hal yang muncul dalam tujuh hari itu, karena Tania juga memiliki bos yang pengertian minta ampun.  Dan celaka terjadi saat meeting menentukan bersama klien, yang sedianya bisa menaikkan jabatannya, terganggu oleh Tyo yang seperti sedang sakaw karena obat penenang. Perilaku Tyo  dianggap tidak menghormati klien yang berhubungan lewat video conference. Sebenarnya hal ini bisa disiasati dengan korden yang memisahkan Tyo dan Tania ditutup, tapi itu tidak dilakukan, dan klien yang mudah marah juga tidak memintanya. Setelahnya, Tania marah karena Tyo dianggapnya sengaja menganggu pekerjaannya agar imbang, sama-sama istirahat.

Sebenarnya certia yang dibangun Fajar cukup meyakinkan, lewat konflik-konflik kecilnya. Bahwa hubungan bisa rusak dalam waktu tujuh hari, itu mungkin. Dan bahwa pekerjaan adalah biang keladinya, itu juga mungkin.

Film ini memang didesain renyah, ringan, cukup padat dan memiliki banyak detail yang menarik karena selalu berhubungan. Perkara kadang gagal membuat tertawa itu perkara lain. Dian Sastro dan Lukman Sardi mungkin sudah terlanjur terkenal sebagai sosok yang serius.

Lewat detail-detailnya, pentonton sedikit tahu tentang proses syuting. Tahu bagaimana komunikasi antara dua orang cerdas ketika berantem: alasannya wagu-wagu. Penonton juga bakal memiliki bayangan bagaimana sakitnya orang kaya.

Setidaknya penonton tahu ternyata Tania dan Tyo, sebagai wakil dari pekerja elit, tidak memiliki banyak tamu ketika sedang sakit. Bahkan keduanya sering saling melarang untuk dikunjungi teman. Sangat berbeda dengan pengalamanku yang ndeso bahwa kolong tempat tidur kadang bisa ditempati saking banyaknya keluarga yang menunggu.

Karena untuk orang sepertiku, hepatitis paling-paling tidak akan sampai seminggu di rumah sakit. Tidak perlu tidak pergi ke kamar mandi untuk boker tapi malah pakai pispot. Tidak perlu konflik karena pekerjaan sebab sakit dan suasana rumah sakit sudah cukup untuk membuat pikiran ogah berkonflik.

Apapun itu, setidaknya film ini mengambil cerita yang sangat berani. Berani untuk dinilai membosankan karena tidak teatrikal dan banyak ledakan. Setidaknya, rumah tangga telah dipotret dari sisi lain ketika tawaran masih berkutat antara taaruf, cinta pada pandangan pertama, adaptasi dengan setting luar negeri, hingga perselingkuhan yang membosankan. Well done, Fajar.


Judul: 7/24
Sutradara: Fajar Nugros
Penulis: Natatya Bagya
Pemeran: Lukman Sardi, Dian Sastrowardoyo, Ari Wibowo
Produksi: MNC Pictures
Tahun: 2014


gambar: https://goo.gl/49oZsX

Comments

Popular Posts