Sakit, Rumah Tangga, dan Pekerjaan
Pernikahan selama lima tahun hampir buyar hanya dalam waktu tujuh hari
dua puluh empat jam. Penyebabnya cuma: saling mengenali diri dan pasangan
semakin dalam. Dan percayalah, memang perubahan mendadak seperti inilah yang
bisa merubah suatu hubungan.
Mengumpul dalam daur ruang dan waktu, kadang polemik rumah tangga
menjadi saat-saat yang dirindukan. Alasan kesibukan, atau yang paling kenes,
dedikasi, sudah menjadi fakta penggoyang suatu hubungan. Setidaknya hal itu
berlaku untuk masyarakat elit. Setidaknya itu yang ingin dicuplikkan sang
sutradara, Fajar Nugros dalam film 7/24.
Si suami bernama Tyo (Lukman Sardi), seorang sutradara, dan si istri
Tania (Dian Sastrowardoyo), seorang pekerja kantoran yang jabatannya susah diingat
dan diucapkan. Pada intinya, keduanya memiliki semangat yang sama dalam hal etos
kerja. Totalitas mereka inilah yang akhirnya membawa mereka jatuh sakit. Tyo
terkena Hepatitis A, sedangkan Tania terkena Typus. Keduanya dirawat di rumah
sakit dan di ruang yang sama. Dan inilah awal mula percekcokannya.
Tyo sang sutradara dicuplikan sebagai pekerja yang ulet, mengomentari
kerja semua anak buahnya, mulai dari artis yang tidak bisa merasakan cinta, hingga
kamera yang tidak focus. Tania, yang entah apa jabatannya, terlihat sangat
sibuk dan menjadi orang penting dalam perusahaannya sampai-sampai bosnya (Ari
Wibowo) memintanya untuk meeting dengan
klien padahal dia di rumah sakit.
Kegenitan yang mungkin sudah jarang dilakukan oleh pasutri super sibuk
terkembang kembali. Sok perhatian dan telaten kepada pasangan terlihat terlalu
berlebihan. “Hepatitis dan tipes harus istirahat total”, kemudian Tania
menyimpan handphone suaminya dan melarangnya memikirkan pekerjaan.
Ternyata, Tyo cemburu karena Tania lebih leluasa dalam menerima
teman-teman dari kantornya untuk sekadar mengobrolkan pekerjaan. Tyo memang
dilarang Tania menerima tamu karena menurutnya bakal menganggu istirahatnya.
Dinamika terjadi, sama-sama keras kepala, pandai berargumen, tanggap dan
berhasrat tinggi, hubungan keduanya semakin keruh.
“Aku sutradara!” Tyo mencoba menepis perhatian istrinya yang barangkali
dia anggap sedikit meninggalkan tanggung jawabnya. Tania mafhum suaminya
pekerja keras dan percaya bahwa cara untuk membantunya adalah dengan
mengistirahatkannya secara total. Mungkin rasa pengertian kurang digali lebih
dalam oleh Fajar Nugros. Pemilihan konflik seperti ini kelihatan klise karena
pembuatan film tentunya terpaut dengan tenggat waktu. Sudah sewajarnya
sutradara ingin memaksimalkan waktu yang ada sekalipun dia sakit. Tidak perlu
dibentuk karakter Tania yang overprotective
karena telah dijelaskan alasan mereka berpasangan adalah kebebasan dalam
menentukan pilihan, termasuk dalam hal karir. Tania yang diberi keistimewaan
itu tentu lebih sadar menghargai dedikasi suami pada pekerjaannya.
Namun tidak menjadi masalah. Fajar memberikan konflik-konflik kecil yang
membantu alasan lain selain hepatitis A yang harus istirahat total, misalnya
wanita lain. Rekan kerja seperti artis yang cantik, baik, bahkan peduli dengan
sutradaranya, siapa yang tidak bikin cemburu si istri.
Itu adalah satu dari lain hal yang muncul dalam tujuh hari itu, karena
Tania juga memiliki bos yang pengertian minta ampun. Dan celaka terjadi saat meeting menentukan bersama klien, yang sedianya bisa menaikkan
jabatannya, terganggu oleh Tyo yang seperti sedang sakaw karena obat penenang.
Perilaku Tyo dianggap tidak menghormati
klien yang berhubungan lewat video
conference. Sebenarnya hal ini bisa disiasati dengan korden yang memisahkan
Tyo dan Tania ditutup, tapi itu tidak dilakukan, dan klien yang mudah marah
juga tidak memintanya. Setelahnya, Tania marah karena Tyo dianggapnya sengaja
menganggu pekerjaannya agar imbang, sama-sama istirahat.
Sebenarnya certia yang dibangun Fajar cukup meyakinkan, lewat
konflik-konflik kecilnya. Bahwa hubungan bisa rusak dalam waktu tujuh hari, itu
mungkin. Dan bahwa pekerjaan adalah biang keladinya, itu juga mungkin.
Film ini memang didesain renyah, ringan, cukup padat dan memiliki banyak
detail yang menarik karena selalu berhubungan. Perkara kadang gagal membuat
tertawa itu perkara lain. Dian Sastro dan Lukman Sardi mungkin sudah terlanjur
terkenal sebagai sosok yang serius.
Lewat detail-detailnya, pentonton sedikit tahu tentang proses syuting.
Tahu bagaimana komunikasi antara dua orang cerdas ketika berantem: alasannya
wagu-wagu. Penonton juga bakal memiliki bayangan bagaimana sakitnya orang kaya.
Setidaknya penonton tahu ternyata Tania dan Tyo, sebagai wakil dari
pekerja elit, tidak memiliki banyak tamu ketika sedang sakit. Bahkan keduanya
sering saling melarang untuk dikunjungi teman. Sangat berbeda dengan
pengalamanku yang ndeso bahwa kolong
tempat tidur kadang bisa ditempati saking banyaknya keluarga yang menunggu.
Karena untuk orang sepertiku, hepatitis paling-paling tidak akan sampai
seminggu di rumah sakit. Tidak perlu tidak pergi ke kamar mandi untuk boker
tapi malah pakai pispot. Tidak perlu konflik karena pekerjaan sebab sakit dan
suasana rumah sakit sudah cukup untuk membuat pikiran ogah berkonflik.
Apapun itu, setidaknya film ini mengambil cerita yang sangat berani.
Berani untuk dinilai membosankan karena tidak teatrikal dan banyak ledakan.
Setidaknya, rumah tangga telah dipotret dari sisi lain ketika tawaran masih
berkutat antara taaruf, cinta pada pandangan pertama, adaptasi dengan setting
luar negeri, hingga perselingkuhan yang membosankan. Well done, Fajar.
gambar: https://goo.gl/49oZsX
Judul:
7/24
Sutradara:
Fajar Nugros
Penulis:
Natatya Bagya
Pemeran:
Lukman Sardi, Dian Sastrowardoyo, Ari Wibowo
Produksi:
MNC Pictures
Tahun: 2014
Tahun: 2014
gambar: https://goo.gl/49oZsX
Comments
Post a Comment