Film Perang yang Sesungguhnya



Ketika menyaksikan film perang, ekspektasi penonton adalah bedil-bedil besar yang menakutkan, darah yang muncrat ke mana-mana, tangan dan kaki yang putus, atau tokoh yang jago tembak. Setidaknya menurutku begitu. Sebab, kebanyakn film selama ini memang menyuguhkan suasana perang demikian. Misalnya saja The Hurt Locker, American Sniper, Fury hingga yang paling populer tujuh turunan, First Blood atau Rambo.

Film semacam ini kebanyakan datang dengan aksi yang menghentak. Penonton disajikan medan perang dengan sudut pandang pahlawan melawan penjahat, sesuai latar belakang pembuat atau si pihak pemenang tentu saja. Aksi megah dengan tank-tank besar, pesawat canggih mengudara, dan komandan dan jendral yang lihai dan mempesona memberikan perintah dari markas tampak begitu menawan. Itu kalau tidak mau disebut bersahaja.

Di tahun 2013, Lone Survivor muncul dengan sedikit pembeda. Aksi bedil-bedilan masih ada, namun tidak dalam medan perang yang besar. Hanya beberapa anggota elit tentara Amerika yang mengintai sekelompok teroris. Dari harapan akan terjadi aksi epik secuil kelompok anggota elit yang membunuh satu unit besar teroris, aksi cerita berubah ke sisi humanis, nilai tolerasi. Anggota pasukan elit yang lari terbirit-birit ditemukan penduduk lokal lalu malah melindungi mereka. Alasannya adalah tuan rumah menghormati tamu, sekalipun tamu mereka orang Amerika.

Lone Survivor cukup berhasil dengan memperbarui naskah drama peperangan dengan lebih mempersempitnya pada nilai ketimbang aksi. Hal ini diikuti American Sniper hingga Hacksaw Ridge. Film-film ini mencoba mengesampingkan aksi dan segala ledakannya dan memilih menajamkan karakter. Ketokohan adalah yang utama. Latihan keras, latar belakang keluarga, motivasi hingga idealisme jadi suguhan. Setidaknya, begitulah dua warna film perang saat ini.

Dan akhirnya, telah sampailah kita pada saat yang berbahagia. Christopher Nolan, sutradara paling jempolan sejagat akhirnya membuat film perang. Mengambil sepotong tragedi sejarah, Dunkrik dipilih jadi kisah. Akankah Nolan memberikan aksi super mewah dengan arena perang yang menyeramkan sekaligus haru? Atau Nolan akan memberikan suntikan ketokohan yang dalam seperti perasaan korban-korban perang atau mungkin susahnya memimpin 400.000 tentara yang berebut untuk pulang sedangkan kapalnya tidak muat?

Kejutaaan! Tentu saja itu bukan keduanya. Bukan Nolan namanya jika tidak memberi sesuatu yang baru. Dan pendekatan apa yang dia pakai? Entahlah. Hingga saat ini, sejak kutonton filmnya, hingga kurenungkan dan mulai kutulis, aku belum menemukan istilah yang pas. Yang jelas, Nolan mengambil keduanya, juga membuang keduanya di saat bersamaan.

Dunkirk tidak menggunakan peluru-peluru yang menghentak, juga tidak memainkan beban psikologis. Dunkirk bermain secara diam-diam, mengamati, menunggu, lalu melesat.

Film dibuka dengan lima orang tentara berjalan santai menyisir jalanan dan perumahan. Tiba-tiba, berondongan tembakan dari belakang menghajar mereka dan secara tidak sengaja, satu orang selamat dan berhasil masuk ke parimeter pasukan. Tokoh ini berjalan terus hingga menuju bibir pantai dan melihat pemandangan panjang orang mengantre naik kapal. Tanpa pikir panjang, si prajurit ini ikut mengantre. Dengan seorang rekan, dia berhasil masuk kapal dengan mengelabuhi petugas dengan membawa orang sakit yang ditandu. Tak berselang lama, pesawat musuh datang dan menghajar bibir pantai termasuk kapal. Perjuangan prajurit jadi sia-sia dan harus menunggu lagi kapal berikutnya, jika ada.

Film ini akan mengambil tokoh si prajurit tadi? Jawabnya salah. Kamera langsung dilempar ke udara di mana pilot-pilot pesawat sedang adu keterampilan. Seorang pilot yang jago dan berani, mencoba melindungi pantai dari kedatangan pesawat-pesawat musuh. Tentu dengan jumlah yang lebih banyak dan pesawat yang lebih baik. Sebab, si pilot andalan ini selain berkonsentrasi mengendalikan pesawat lagi mengincar sasaran, dia juga harus menghitung bahan bakar yang dimiliki dengan memperkirakan jarak, ketinggian, dan waktu di jam tangannya. Serba manual tapi toh berarti besar.

Di tempat lain, seorang penduduk biasa, mungkin nelayan, yang memiliki kapal, bergegas menuju medan perang, Dunkirk. Seorang anak muda 17 tahun nekat ikut meskipun juga tidak dilarang. Di tengah perjalanan, seorang pilot dari pihak yang sama duduk kaku di ujung pesawatnya menanti karam. Si pilot selamat. Namun, ketika tahu tujuan kapal kecil ini menuju Dunkirk, pilot bertubuh besar, yang traumatik, jadi kalut hingga tak sengaja menjatuhkan anak muda 17 tahun. Pada gilirannya, ketika keberanian si pilot kembali, anak muda tadi mati.

Kembali ke bibir pantai, sekelompok pasukan mencoba menaiki kapal nelayan yang terdampar. Kelompok ini masuk ke dalam dek dan menunggu air pasang sehingga bisa mengapung. Sayang, mereka tidak mengira kapalnya telah memasuki parimeter musuh dan membuat kapal mereka diberondongi peluru oleh musuh. Dengan keputusasaan atau kebodohan, semuanya menutup lambung yang bocor dengan tangan dan masih berharap untuk berlayar meski air sudah sepinggang.

Kira-kira begitulah film ini disusun. Potongan-potongan gambar dengan waktu yang dipecah untuk disimak dari sudut lain. Potongan-potongan waktu yang berada di depan lalu secara perlahan disusun dengan waktu sebenarnya sehingga menghadirkan penjelasan yang, selain kaya sudut pandang dan teatrikal, sangat meyakinkan. Akhirnya, efek dramatis jadi lebih termaksimalkan.

Dan salah satu yang paling bertanggung jawab di sini adalah kamera. Scene awal ketika prajurit dari kota lalu ditembaki dan sampai ke bibir pantai misalnya, menggunakan semacam single shot. Berlari dari tembakan, memanjat pagar, hingga meninggalkan rekan yang jatuh berguguran dengan satu kamera yang mengikuti, jelas sungguh menawan. Barangkali sekitar tiga sampai empat menit adegan ini berlangsung.

Untuk gear, Nolan di sini menggunakan kamera besar Imax dan kamera film 65mm untuk mendapatkan gambar wide yang sangat jelas dan terlihat dekat. "It was very important to us to try to be as close to the subject as possible — an unfiltered window into the world — and to use the clarity of the format as much as possible. It became about, how can we do all of this impossible stuff with the big-format cameras?" kata Hoyte van Hoytema di hollywoodreporter.com, cinematographer di balik gambar luar biasa ini.

Gambar luar biasa inilah yang membuat narasi mencekam, frustasi, putuh asa terlihat jelas di darat, udara, dan di air. Lewat gambar ini suasana sebenarnya perang yang paling lengkap paling tidak terwakili dengan baik. Dan memang sejak awal beginilah narasi Nolan yang tidak mellibatkan tokoh untuk disimak lebih dalam. Nolan "cuma" memperlihatkan suasana perang. Itu saja. Tidak perlu tokoh yang rindu dengan keluarga. Jenderal yang kesusahan membagi makanan untuk pasukannya. Tidak. Film ini tidak begitu.

Dan sama pentingnya dengan gambar bagi Nolan, musik atau scoring juga jadi yang utama. Bahkan lewat suatu kesempatan, Nolan bercerita jika ide untuk mendapatkan tensi atau suasana yang terus berkembang dia dapat dari musik. Ialah "Shephard tone" yang menginspirasinya lewat efek ketegangan infinit yang ilusif. Cara kerja tone ini adalah membuat tiga buah nada yang memiliki tiga bunyi berbeda yang jika digabung akan membentuk semacam musik scale yang berefek naiknya nada secara terus menerus, meskipun ilusif.

"It’s an illusion where there’s a continuing ascension of tone. It’s a corkscrew effect. It’s always going up and up and up but it never goes outside of its range. And I wrote the [“Dunkirk”] script according to that principle. I interwove the three timelines in such a way that there’s a continual feeling of intensity. Increasing intensity. So I wanted to build the music on similar mathematical principals. So there’s a fusion of music and sound effects and picture that we’ve never been able to achieve before.” ungkap Nolan di businessinsider.sg.

Nolan menerjemahkan prinsip di atas lewat gambar tiga tiga narasi udara, laut, dan darat. Dari sini terlihat Nolan memang sangat jenius, bahkan sejak pembuatan skrip bersama Hanz Zimmer ketika mendiskusikan scoring untuk Dunkirk.

Sama seperti fungsinya ketika menulis skrip, film ini pun memang tak bisa mendapatkan tepuk tangan jika tak memiliki Hanz Zimmer. Suara latar atau mungkin yang paling istimewa, pesawat, sangat keji untuk menekan nafas penonton. Di udara misalnya, bunyi pesawat sangat bising hingga terasa sensasinya. Pesawat modern saja bisingnya minta ampun, apa lagi yang klasik.

Aku tidak ingin berkomentar dengan aktor yang bermain karena memang tidak dikhususkan memperlihatkan kemampuan akting secara personal. Paling tidak puluhan orang berakting bersamaan dan tidak ada yang menjadi tokoh utama. Jika mereka bisa melakukan tugas mereka dengan baik, aku anggap itu sukses.

Satu hal yang menurutku kurang dari Nolan adalah dia tidak bisa membat film jelek. Ya sudah. Selamat, Nolan! Aku bercita-cita jadi screenwriter sekarang.


Judul: Dunkirk
Sutradara: Christopher Nolan
Penulis: Christopher Nolan
Tahun Rilis:
Pemain: Fionn Whitehead, Tom Hardy, Harry Styles, Cillian Murphy

gambar: https://goo.gl/dLzn5H

Comments

Popular Posts