Perempuan Perkasa


Ketika melihat frasa "perempuan perkasa", maka yang ada dalam bayanganku adalah Bunga dan Nadia. Dua orang teman yang secara harfiah memang perkasa. Predikat ini berawal dari kesediaan mereka, secara sukarela, untuk menginap (menjaga buku) di gedung yang dingin tak bersekat ketika ada acara bazar buku di organisasi kami. Tak cuma menginap, angkat-angkat buku, dan hal-hal yang menguras tenaga lainnya, setidaknya pernah mereka lakoni.

Tentu ini penting! Semenjak gelombang besar feminisme di Amerika tahun 60an, setidaknya perubahan besar terjadi pada kehidupan dunia. Perempuan sangat mungkin untuk memimpin. Produk gampangnya, tak ada lagi film-film Disney yang memperlihatkan kepasrahan perempuan menunggu pertolongan laki-laki. Bahkan, flim Moana tahun 2016 diperankan oleh tokoh perempuan yang menyelamatkan dunia. Untuk itu, perempuan perkasa harusnya sudah menjadi hal yang lazim ditemui.

Meski begitu, pasang surut tetap terjadi. Budaya patriarki yang mengakar kuat, moral agama yang tak kunjung berubah, dan yang paling buruk, lahirlah media sosial yang mengancam keperkasaan perempuan. Untuk yang terakhr, aku secara sepihak menuduh media sosial bertanggung jawab atas munculnya perempuan-perempuan manja. Ketika kampanye feminis bisa dengan mudah dilakukan, kampanye regresi juga mudah meruntuhkannya.

Sebuah ironi tentu saja. Perempuan-perempuan perkasa mesti terancam pertumbuhannya karena munculnya kembali gelombang wanita bersolek cantik yang menunggu pingitan lelaki tampan, kaya, dan bermoral tinggi. Setidaknya itu penilaianku atas lini masa media sosialku.

Tentu saja wanita karir akan terus bertambah. Tapi apakah kemunduran itu tidak mengganggu? Tentu mengganggu. Perempuan yang konon jumlahnya 1:3 dibandingkan dengan lelaki ini, akan jadi sangat percuma jika tidak bisa diberi ruang untuk menjadi perkasa. Apalagi jika secara sadar untuk menjadi manja dan menunggu lelaki yang tepat. Bersolek boleh, tapi perkasa harus!

Keadaan gawat lain muncul. Standard perempuan terbaru adalah perempuan perkasa, bersolek, dan Gal Gadot! Gal Gadot adalah aktris pemeran Wonder Woman yang belakangan ini banyak dipuji setinggi langit. Ketika kekhawatiranku akan media sosial yang berpengaruh buruk, Gal Gadot adalah penyegar kembali ingatan perempuan untuk kembali berjalan di jalur yang benar. Apakah perlu dirayakan?

Menurutku perlu. Perempuan perkasa harus secara serius dipandang bukan hanya dalam soal ekonomi dan sosial, tetapi juga pada wacana yang lebih besar. Perempuan perkasa bukan hanya sibuk dalam urusan dapur, tetapi juga mengeluarkan ide dan gagasan pada diskusi dalam sebuah keluarga. Sama seperti ketika Wonder Woman menginterupsi rapat para jenderal perang di Inggris.

Film garapan Patty Jenkins ini harus diakui memang segar. Superhero perempuan sebagai tokoh utama jadi salah satu yang paling ditunggu, dan dibayar tunai olehnya dengan cermat. Tokoh dari komik DC ini menceritakan perjalanannya mencari Ares, dewa perang, yang kala itu berada di balik lahirnya perang-perang besar, termasuk perang dunia kedua.

Dibantu oleh Steve Trevor, seorang agen rahasia dari Inggris, si perempuan perkasa nan polos meninggalkan negara-pulaunya. Berbekal gen dewa dari Zeus dan ratu yang juga perkasa, dilatih kelahi sejak kecil, cerdas dan mampu menguasai ratusan bahasa, Diana, hingga film ini usai tetap belum disebut sebagai Wonder Woman, memang benar-benar perkasa! Modal yang cukup untuk mengalahkan Ares dengan segala moral Diana yang belum terkontaminasi.

Patty Jenkins setidaknya berhasil mendudukan posisi perempuan sebagai leading role serta leading the discourse. Meski sudah dibekali kehebatan seperti di atas, panduan menjalani hidup di dunia baru tetap dibutuhkan. Di situlah Steve Trevor berperan seadanya dan tidak terlalu mengatur si perempuan perkasa. Malahan, si perempuan perkasa ini berkali-kali menyelamatkan si pria dari maut. Yang sebenarnya terjadi adalah paradoks yang cukup adil.

Untuk perkara wacana, film ini bergerak cukup pelan dan tidak menghentak. Tidak ada kesan "saatnya perempuan memimpin". Wonder Woman memimpin atau tampil dalam porsi lebih memang karena kekuatannya yang lebih. Itu sudah cukup untuk menegaskan kesetaraan. Jika mampu, bertarunglah! Jika tidak, dukung dari belakang!

Beberapa adegan pun cukup menyayat hati para maskulin yang masih berpikir selalu digdaya dari perempuan. Misalnya, adegan telanjang Steve yang dipergoki Wonder Woman. Adegan ini santai saja. Diana tidak tertarik dengan tubuh sexy Steve Trevor. Juga ketika menyarankan Steve untuk tidur di sebelahnya karena masih tersisa ruang yang luas dan hangat. Tentu ini membuang jauh prasangka tidur dengan lelaki berakibat buruk bagi perempuan, seperti bisa diperkosa dan sebagainya. Bahkan, obrolan tentang seks terucap biasa saja di mulut Wonder Woman padahal Steve sudah gemetaran.

Anna North dalam opininya Behind Wonder Woman Is a Great Man di The New York Times (6/6/2017) juga menyebut Patty Jenkins telah berhasil mempersilakan Wonder Woman berada di depan Steve Trevor dengan baik. Termasuk ketika membuat dirinya menjadi sebuah objek lelucon perihal telanjang dan keseksiannya yang tak membuat WW bergeming. Ini terobosan penting dan ramah mengingat tubuh perempuan biasanya diobjektifkan untuk sexy dan dinikmati penonton.

"Misogynists have long accused feminists of hating men or masculinity, but Captain Trevor is a reminder that masculinity itself isn’t the problem. A swashbuckling spy who amusingly claims his physique is “above average,” he remains masculine throughout the movie in a fairly traditional sense — his masculinity just allows for supporting a powerful (O.K., superpowerful) woman, rather than undercutting or resenting her."

Pertanyaan berikutnya, apakah laki-laki sudah siap jika di dunia nyata perempuan lebih perkasa? Perempuan boleh menuntut ilmu untuk menjadi Gal Gadot yang cantik, juga perkasa seperti Wonder Woman. Di sisi lain, laki-laki juga harus menuntu ilmu pada Steve Trevor untuk insyaf dan menghormati perempuan sebagaimana mestinya. Apapun yang terjadi, perempuan perkasa juga butuh andil dari seorang laki-laki perkasa (yang dengan rendah hati mengakui kehebatan perempuan).


gambar: https://www.wired.com/wp-content/uploads/2015/09/wonderwoman.jpg b

Comments

Popular Posts