Cara Kerja Agama di Game of Thrones



Game of Thrones (GoT) karya George R.R Martin adalah salah satu karya fiksi/fantasi paling popular dan paling kompleks yang pernah ada. Kita semua menyukai Harry Potter yang manis dan menyenangkan hati. Hunger Games yang menegangkan juga mendebarkan. Tapi tidak ada yang sekompleks dan senjlimet GoT.

Bisa dibilang, memang kekompleksan inilah andalannya. Bukan hanya sekadar politik klan untuk menguasai kerajaan, tapi juga bangunan karakter-karakter yang terkadang tidak nyaman untuk dinikmati (incest, seks vulgar, hingga adegan menyusui bocah). Apalagi jika melihat bagaimana bayi-bayi dibunuh, kepala dipecah tengkoraknya, juga nudity yang tidak terbayang untuk dituliskan. Terobosan yang cukup menohok untuk obsesi realisme yang tinggi.

Betapa pun itu, dunia fiksi tidak akan benar-benar telihat real kalau belum ada sentuhan tuhan. Dan, ahay, untuk itulah George juga memasukkan bejibun agama-agama.

Sejauh cerita ini berkembang, atau dunia fiksi yang sampai sekarang dikenali, dari benua Westeros dan Essos, ada tiga agama besar yaitu: Faith of the Seven, Old God/Weirdwood tree, Lord of Light. Ini masih belum menghitung sempalan lain seperti dewa di klan Dothraki, Iron Island, atau konsep agama yang paling semrawut: death di Bravos.

Banyaknya agama yang dimasukkan George selain mempercantik karyanya, juga menimbulkan pandangan yang liar: “Wow, George baru saja membuat agama di dalam bukunya”. Jangan-jangan para nabi juga sama seperti George, cuma nabi melakukannya di dunia nyata. Menyenangkan sekali melihat George bermain tuhan dengan membuat agama. Banyak agama malahan.

Ada tiga hal yang ingin kubicarakan soal agama-agama ini. Pertama, di dunia fiksi dengan Westeros sebagai sebuah kerajaan besar, dengan raja yang sangat berpengaruh, agama masih juga diperlukan, mengapa? Jika memang sebuah kerajaan benar-benar berdaulat, di mana posisi dan hubungan antara agama dan kerajaan? Lalu, yang paling penting dan bikin orang marah, sefiksi apakah agama di dunia Westeros jika dibandingkan dengan yang ada di dunia nyata?

Emmm, kira-kira begini.

Pertanyaan pertama, fiksi itu diperlukan. Dalam sebuah manajemen keluarga, seorang ayah perlu menceritakan dongeng hantu pencabut gigi bila anaknya tidak mau sikat gigi. Begitu juga di masyarakat, harus ada paling tidak konsensus yang dipercaya sebagai hantu pencabut gigi agar orang tetap tertib seperti sikat gigi. Itulah salah satu kegunaan fiksi di masyarakat: mengemban pandangan yang diyakini kebenarannya.

Kerajaan membutuhkan fiksi? Tentu saja. Suatu sore yang menyebalkan, Raja Robert berbincang dengan ratunya, Cersei. Pembicaraan tentang potensi invasi bangsa lain merembet kepada kondisi kerajaan yang dipenuhi schemers, backstabbers, dan penjahat cerdas lainnya. Kerajaan akan menuju peperangan, tapi beberapa klan di kerajaan sendiri masih berkelahi. Menurutnya, rasa persatuan atau tujuan hidup itu sirna ketika Robert menggulingkan raja yang lama. Sosok musuh bersama sebagai tujuan sudah tidak ada.

Inilah fiksi terbesar itu, tujuan hidup. Agama jelas menyodorkan tujuan hidup lebih baik dari siapa pun, termasuk kerajaan. Janji surga, berpihak kepada kebenaran, melindungi masyarakat dari penindasan, mengedukasi masyarakat yang amoral, mengutuk bangsawan korup, melawan raja yang gila, semua itu adalah momen yang pas untuk agama menunjukkan diri.

Sama seperti kata Robert, tujuan kolektif ketika menakhlukkan raja yang lama juga berlaku bagi agama. Keberpihakan pada yang tertindas, penegakkan keadilan, pengawasan moral adalah tujuan bersama yang dipercaya rakyat Westeros. Bila kemungkaran masih ada, niscaya agama akan terus menjadi sandaran.

Tatanan yang diimajikan inilah akar semuanya. Masyarakat yang berkumpul membentuk suatu kerajaan tidak akan mampu bertahan jika tidak memiliki tatananan yang dicita-citakan. Bagaimana cara mengontrol ribuan warga? Mungkin sebuah harapan bersama bisa melakukannya. Dan agama datang untuk memikulnya.

Pertanyaan kedua, masih sama, fiksi itu diperlukan. Negara yang sudah berdaulat, memiliki tujuan yang amazing sekali pun tetap perlu peri gigi yang menjangkau setiap kasur dan bantal targetnya. Agama adalah salah satu instrument yang mampu menjangkau semua itu. Jika kerajaan masih berkutat pada politik kekuasaan, konflik dengan kerajaan lain, rakyat yang diabaikan mesti tetap dijaga. Dan agama bisa menjadi alat yang pas. Sebagaimana pernah dilakukan raja terdahulu di Westeros, Baelor the Sept, yang relijiusnya minta ampun dalam memerintah. Meskipun meninggal tragis, Baelor dihormati rakyatnya.

Sebagaimana “alat”, agama juga bisa dipakai untuk mereguk kekuasaan. Hal ini dipraktikkan oleh High Sparrow, kelompok fanatic dari Faith of the Seven. High Sparrow adalah kelompok yang paling menarik di karya George karena menggambarkan dengan jelas cara kerja agama. Pada mulanya, High Sparrow hanya memiliki sedikit pengikut. Ketika Cersei mempersenjatai mereka, fanatisme menguasai kerajaan. Celakanya, High Sparrow sudah kadung mendapat tempat di akar rumput. Akhirnya, Cersei menyingkirkannya dengan kekerasan.

Praktik demikian juga dilancarkan oleh pendeta-pendeta dari Lord of Light. Mereka mendekati rakyat bawah yang papa dan serba kekurangan. Oleh para pendeta ini, mereka diberi keyakinan bahwa Lord of Light adalah juru selamat, untuk itu berdoalah padanya. Jika kita terkena musibah, apakah kita akan memilih untuk mengumpat ketimbang berdoa yang ada garansi kemuliaan? Kemuliaan dong. Dan sebagaimana sebuah alat, Lord of Light juga digunakan Tyrion untuk menaikkan popularitas Daenerys sebagai ratu.

Bisa dibilang, posisi agama dan kerajaan di dunia fiksi George bernilai sama kuat. Kerajaan adalah piring, tempat untuk aneka macam lauk berjejalan sekaligus bermakna awal terjadinya proses makan. Sedangkan agama adalah sendok dan garpu, bisa menjadi alat untuk makan, bisa juga untuk meniadakan piring dengan segala dayanya termasuk menggagalkan tujuannya untuk makan.

Apakah kerajaan (negara) dan agama bisa bersatu? Lebih baik tidak usah dibayangkan. Sejarah sudah membuktikan.

Pertanyaan ketiga, sefiksi apa agama itu? Mungkin kita harus mengapresiasi George yang telah mencoba membaca pikiran tuhan dengan mengambil perannya. Sebab, agama gubahan George pun relatif sama dengan agama yang ada di dunia nyata, yaitu faith based. Yaiyalah, namanya agama ya dasarnya kepercayaan.

Maksudku begini, di semua agama hampir selalu ada narasi umum tentang sistem konsekuensi dari perilaku, yaitu surga dan neraka. Perbedaannya hanyalah masalah teknis seperti ritual, nama tuhan, atau sistem penyebaran. Di dunia nyata, kita mengenal adanya nabi sedangkan di Westeros tidak ada. Praktis cuma Lord of Light yang bertindak sebagai Yesus di sana yang bisa menghidupkan orang mati. Selain itu, hanya konvensi dari masyarakat tentang yang baik dan buruk, yang juga bisa dikritisi seperti tradisi. Old God milik Ned Stark malah hanya pohon.

Semua narasi tersebut berbasis kepercayaan pada idea luhur bagaimana manusia harus berperilaku. Tuhan mereka cukup sederhana, ada yang pohon, laut, hingga kematian. Belum ada agama yang sepersis konsep agama sekarang yang memiliki nabi, ada kitab suci, dan moralis kelas kakap. Apakah berarti peradaban mereka masih rendah?

Mungkin tidak. Beberapa kebudayaan lampau juga mencatat adanya animism dan dinamisme. Mungkin juga agama tidak bisa dijadikan parameter kemajuan peradaban. Lha Winterfell yang dipimpin Ned Stark saja terlihat makmur jaya padahal tuhan mereka pohon.

Yang jelas, tujuan fiksi sebagai pandangan umum untuk mengatur orang banyak berhasil dijalankan agama-agama di GoT. Kepercayaan yang dipraktikan dalam keseharian karakter dan corak norma agama tersampaikan dengan bagus. Sebab, hanya inilah resep George dalam membuat agama: kepercayaan dan pemeluk yang setia. Mau senyleneh apa pun itu, kalau dipercaya dan dijalankan ya sudah.

Sefiksi apa? Ya terserah pengarang, nabi, pendeta, dan lainnya. Ngalor ngidul ke mana-mana intinya ya keyakinan ini. Mau dibuat cerita tuhan adalah yang menarik matahari dari timur ke barat, menghidupkan bintang di malam hari, ya terserah. Lha percaya kok. Fiksi? Ha la ya mbuh. 

Mau mengatakan sekonyol apa pun dinamisme, jika dipercaya dan dipraktikkan dan dibuktikan dengan hasil yang baik, ya boleh dibilang agama ini berhasil. Sama juga dengan Faith of the Seven yang mapan sebagai agama samawi. Tuhannya yang tak terlihat, tak tergambarkan kemudian menjadikan tuhannya yang paling superpower. Pemeluknya pun lebih banyak dengan pendeta-pendeta seperti polisi moral. Mereka menggunakan dalil untuk mengerdilkan dan memerkusi kaum homoseksual. Ya, kitab suci mereka terasa nyata karena di dunia nyata memang begitu. Gay itu dilarang! Titik!

Setelah semua ini, ada sebuah pikiran menarik memaksaku untuk menulis. Apakah tuhan Ned Stark akan marah jika tidak lagi disembah? Apakah tuhan di agama Lord of Light atau Faith of the Seven juga murka kalau masyarakat berhenti percaya? Apakah bumi akan berhenti berputar ketika mereka melakukannya? Apakah tuhan akan mengirim naga untuk memangsa semua manusia yang ingkar kepadanya? Lalu, bagaimana dengan orang yang ada di benua lain yang tidak kenal siapa itu Lord of Light, Faith of the Seven, di makan naga juga?

Pembicaraan ini kupikir menarik karena aku memikirkan bagaimana realistisnya sebuah agama dalam cerita fiksi dengan membandingkannya dengan yang asli di dunia nyata (yang juga fiksi (?)). Akhirnya, aku menyimpulkan agama di Westeros dan di dunia nyata sama saja. Silakan interpretasikan frasa “sama saja” karena mungkin akan membahayakanku. J





gambar: https://goo.gl/2m9e6w


Comments

Popular Posts