Siddhartha: Perjalanan-Perjalanan Suci dan Bagaimana Mencapainya



Dipenuhi gairah, ia tak ingin apa pun lagi tentang dirinya sendiri, ingin beristirahat, mati…. Masih adakah jenis kotoran yang belum dipakainya untuk mengotori diri, atau tindakan bodoh yang belum dilakukannya, kesuraman batin yang belum ia timpakan pada dirinya sendiri? (hlm. 98)


Siddhartha capai, segala hal baik buruk sudah dia lakukan, dari yang paling mulia hingga yang paling keji. Tapi semua itu terasa kosong. Dia tidak mendapatkan apa-apa. Dia bingung dengan apa yang dia cari. Dia tidak tahu akan ke mana, apa tujuannya. Jiwanya hampa, juga sepi.

Perjalanan panjang dengan impian besar, tak tersisa sama sekali selain kekonyolan. Tak ada gunanya lagi hidup. Barangkali, kematian lah yang akan melengkapi kehampaannya. Kematian ini akan menjadi sebuah keputusasaan dan kehampaan yang sempurna.

Diliputi keletihan dan kelaparan yang dahsyat, di tepi sungai, Siddhartha ingin mengakhiri perjalanannya, hidupnya. Sungai yang dalam akan menenggelamkannya dan membuatnya menjadi pakan ikan. Dan itu yang diharapkannya ketika mendorong tubuhnya ketepian. Kemudian, sebuah gelombang mendistorsi air sungai dan memunculkan wajahnya. Dia pandangi, lalu meludahinya. 

Sesaat sebelum meluncur ke kematian, sebuah suara bergetar di dalam dadanya. Matanya yang sudah terpejam tercengang mengenali suara ini. Itulah “Om”, yang bermakna suci, yang sempurna atau penyempurnaan. Siddhartha bangkit. Kekagetan dan perasaan tersetrum muncul ketika mendengar suara yang sangat dia kenali. Sebuah kata/suara yang dilatih terus dari kecil hingga dewasa. Suara yang seperti bel untuk mengingatkan di mana dia sekarang. Kini dia sadar, dia sedang berada di posisi yang begitu terkutuk.

***

Siddhartha adalah seorang anak Brahmana. Dia anak yang cerdas dan tekun. Sejak dari kecil dia sudah berlatih meditasi, mengucapkan "Om" dalam hati, juga belajar tentang orang-orang bijak. Dan siapa pun yang mengenalnya akan terpukau dengan keterampilannya.

Kehausan akan pengetahuan membuat kedua orang tuanya bahagia. Dan memang orang-orang terdekatnya sangat menyayanginya. Bisa dibilang, hidup Siddhartha adalah hidup yang sempurna.

Namun, Siddhartha, yang menurut kawannya, Govinda, ini adalah seorang Brahmana terpilih dan terkasih, malah tidak berpikir demikian. Dia tidak pecaya kebahagian seperti itu. Bahkan, dia tidak puas dengan kebahagiaan yang diberikan kedua orang tuanya dan sahabatnya, Govinda, yang sangat menyayanginya.

Ketidakpuasan ini bukan buta bahwa Siddharta adalah orang yang mati hatinya. Bukan. Siddhartha sangat paham dan peduli dengan orang yang sangat menyayanginya. Dia merasakan itu semua. Ketidakpuasan Siddhartha adalah rasa penasaran, kecemasan, dan paradoks dari semua yang dia alami.

Selalu ada ketidaksepahaman dari pengalamannya, sebuah paradoks yang membingungkan. Pencerahan dari kitab-kitab suci dan kebijaksaan memang benar ada, eksis, tapi apakah orang-orang bijak, pandita, yang mempelajarinya dengan sungguh sangat baik sudah menghayatinya?

Ayahnya yang sangat bijaksana, hidup dengan teduh dan menentramkan, bukankah dia sedang mencari? Bukankah dia perlu mereguk ilmu-ilmu lainnya terus-menerus? Mengapa pula orang yang tidak tercela perlu mencuci dosanya? Bukankah sumber yang sejati memancar dari dirinya sendiri? Siddhartha tahu ada kedahagaan di sana.

“Yang harus ditemukan adalah sumber murni di dalam diri sendiri, yang harus dimiliki! Semua yang lain adalah pencarian, jalan menyimpang, tersesat,” ungkap Siddhartha (hlm. 12).

Begtulah dahaga/penderitaan yang dirasakan Siddhartha. Dari semua orang bijak yang dikenalnya, tidak ada satu pun dari mereka yang memuaskan dahaga sejati dengan sempurna. Dan keadaan ini tak bisa terus dia redam. Dia tidak bisa berada di dalam keadaan statis. Baginya, Brahmana adalah sasaran anak panah, yang harus dicapai tanpa henti.

Sampai suatu ketika, para pertapa datang melintasi kota. Pertapa ini dianggap Siddhartha memiliki pembawaan yang tidak biasa. Akhirnya, Siddhartha memutuskan untuk mengembara melihat apa itu dunia, mencari kebahagiaan yang sesungguhnya, memuaskan dahaga sejatinya.

Perjalanan meninggalkan rumah ini adalah sikap awal Siddharta mencari arti hidup. Dia meneruskan pengembaraan dari satu tempat ke tempat lain. Setiap perjalanan yang menambah wawasannya, bertambah pula kepelikan dari dahaganya. Setiap merengkuh suatu kebijaksanaan, maka akan ada paradoks yang dia temukan. 

Sebuah pengalaman berharga dia miliki saat bertemu dengan Gautama, Buddha yang mulia. Ajaran-ajaran dari yang tercerahkan masuk ke dalam jarring-jaring pikirannya. Hingga, ia tersadar, pikirannya telah menguasai tubuhnya, mencampakan indra-indranya. Padahal, keduanya sama pentingnya. Akhirnya, dia pun berpisah dengan Govinda yang telah mengikutinya sejak dari awal perjalanan untuk menetap mengikuti Gautama.

Keadaan tak puas ini terus menerus terjadi pada diri Siddharta. Pemahaman dan pencerahan baru dia cari dan terapkan. Bahkan, kehidupan bersama wanita bernama Kamala dengan balutan hasrat dan nafsu, yang tidak pernah dia rasakan, dia lakukan. Karena pada akhirnya, di sinilah dia mengerti apa artinya cinta.

Perjalanan terus dia lanjutkan. Kini, indranya kian terasah oleh kenikmatan materi. Bersama Kamaswami dia berdagang dan mengumpulkan uang lalu menghambur-hamburkannya. Dengan segera, Siddhartha sudah seperti bangsawan.

Namun, keadaan tidak kunjung bertambah baik. Ingatan akan pencarian arti hidup berhasil melupakan kemapanan duniawi ini. Dia melanjutkan perjalanan sucinya, meraih mimpinya. Mencari sesuatu yang mungkin sudah dia miliki, atau bahkan belum dia miliki. Sesuatu yang asing, yang jauh dan tidak bisa dimengerti. Suatu kedahagaan yang meresahkan.

Lewat kelelahan hati, pikiran, dan tenaga, di sebuah tepi sungai, Siddhartha menemukan lecutan semangatnya kembali. Perlahan, dia mulai memahami apa yang dia cari. 

***

Hermann Hesse tak bisa disangkal telah mengaduk-aduk isi kepala pembaca lewat perjalanan spiritual Siddhartha. Lewat penyampaian yang terasa dekat, pembaca akan mudah memahami apa yang dirasakan oleh si tokoh. Dampaknya, bisa saja tokoh Siddhartha akan mempengaruhi hidup pembaca secara langsung (atau mungkin tidak langsung).

Buku semacam ini tentu sangat luar biasa. Bukan cuma menjelaskan bagaimana merengkuh cinta, menjadi pribadi yang ikhlas tapi cerdas, tapi juga menyelenggarakan momen untuk berpikir dan merenung. Buku ini tidak hanya memuaskan dengan kisahnya, tapi juga mendidik dengan ilmunya.

Kejeniusan Hermann Hesse memang dipengaruhi langsung oleh komunitas Buddha. Ketertarikannya ini juga yang membuatnya belajar langsung ke India. Dan harus diakui, Hermann telah berhasil menyerap ilmu tersebut lalu “merekontruksi” apa yang sudah dia pelajari. Hasilnya, semacam alegori dari kebijaksanaan Buddha yang dimanifestasikan oleh karakter Siddhartha. Untuk memperkuat dan memberikan "pembatas", dia masukan Siddhartha ke zaman di mana Gautama hidup dan terpengaruh langsung olehnya.

Di akhir buku, Govinda, sahabat Siddhartha semasa muda, menemukan kawannya sudah berubah menjadi orang lain. Dan dia tahu itu dari sebuah senyuman yang menggambarkan segalanya. Sebuah senyuman yang sama dimiliki oleh Gautama.

Pembaca tak pelak akan menemukan kebahagiaan (kalau tidak mau disebut kebijaksanaan) baru dari buku ini. Tidak banyak menyinggung ajaran, hanya berfokus pada diri tokoh dan sisi spiritualitasnya. Pembaca akan diajak mengarungi perjalanan hidup yang sangat berharga dari seorang tokoh yang sangat bijaksana. Dari tempat yang paling nyaman ke tempat yang mengerikan, dari keterpurukan ke kebahagiaan yang sejati. 

Buku yang mencerahkan!




Judul: Siddhartha | Penulis: Hermann Hesse | Penerbit: Gramedia Pustaka Utama | Tahun terbit: 2014| Penerjemah: Gita Yuliani | Halaman: 168; 20cm | Desain sampul: Edward Iwan Mangopang

gambar: koleksi pribadi

Comments

Popular Posts