Patung yang Meracau

Dalam perkara perasaan, tapal batas tak sepantasnya diajukan ke persidangan karena jawabnya jelas akan sia-sia. Yang berhak menentukan batas mana yang tinggi dan mana yang rendah ya si perasa tadi. Bisa saja orang membunuh hanya karena merasa tidak suka dengan tatapan mata korbannya. Perasaan tidak suka suka tidak suka jadi perhatian yang sia-sia, meskipun selamanya menarik.

Perasaan tidak suka itu kian kosong ketika yang dihakimi adalah suatu karya. Apakah ada yang berani mengatakan karya Pram itu lebay? Kurang kejutan? Jika tidak ada yang bernai, mungkin saja ada yang berpikir begitu. Led Zeppelin yang sering dianggap band terbaik sepanjang masa juga pernah tidak laku dan dicemooh. 

Namun bukan berarti suatu karya tidak dapat dikomentari. Selalu ada banyak hal untuk dikomentari dan selalu banyak orang ingin berkomentar. Permasalahannya, orang yang berkomentar terkadang tidak mengetahui seluk beluk karya sehingga bukan saja komentarnya tidak tepat sasaran, sering juga luput dalam alasan. Selagi nalar adalah jendral yang merujuk keseimbangan pikir, maka tidak bisa dibiarkan jika ada komentar yang cacat menjauhi nalar. Entah dengan alasan bebas berbicara sekalipun.

Hal seperti ini sering terjadi dan akan terus terjadi jika nalar tidak memadai, juga ditambah perasaan yang selalu ingin menang sendiri. Baru-baru ini, pikiran sempat cemas gara-gara patung tinggi yang dianggap macam-macam. Dan seperti macam-macam orang Indonesia belakangan, patung pun tak luput dari anggapan sebagai sebuah ancaman. Apa lagi kalau bukan iman dan nasionalisme.

Saking muaknya dengan dua kata itu, aku jadi ingin membicarakan perasaan dan nalar saja. Karena sungguh, manusia bisa berbuat nisbi gila jika terbawa perasaan. Dan tentu saja, manusia bisa jadi tampak cemerlang jika mau menuruti nalar.

Perihal ini, aku jadi mengingat Rhadar Pancadahana yang menulis tentang kemunduran dunia sastra karena menghadiahi nobel sastra kepada Bob Dylan yang bukan sastrawan, tetapi penyanyi dan penulis lagu. Entah apakah bagi Radhar lirik milik Bob tidak puitis atau bagaimana, yang pasti, ada kegalauan yang ditangkapnya. Pertama, Bob bukan sastrawan melainkan penyanyi. Lalu pertanyaanya, di era tanpa definisi, sebenarnya, apa itu sastra dan siapa sastrawan? Kedua, apakah karya Bob tidak sebegitu masuknya sehingga disebut kemunduran?

Perkara ini dijawab dengan baik meskipun nampak diplomatis oleh Nirwan Dewanto. Menurutnya, sastra harus terus berkembang dalam arti tidak boleh menutup semua kemungkinan. Tentu itu sangat jelas jika lirik bisa saja masuk sastra. Tapi, sebenarnya aku malah menagkap kegalauan perasaan dan nalar pada diri Radhar. Pak tua ini tidak mampu menerima jika penerima nobel bukan seorang pengarang penyair, dan sastrawan lainnya. Dan menyedihkannya, pak tua ini menggunakan nalar puisi untuk menilai lirik. Ini jelas ketidakmampuan Radhar menerima suatu yang asing dari kebiasaan. Tentu saja ini bukan prinsip ilmu pengetahuan.

Jauh sebelumnya, di acara debat di televisi, Radhar juga menggunakan alasan hampir serupa untuk menolak konser Lady Gaga di Indonesia. Kali ini dia menganggap bahwa banyak musisi-musisi dari Indonesia yang harusnya lebih banyak mendapat kesempatan. Bukan malah penyanyi asing yang tiketnya kemahalan untuk anak sekolahan. Tentu saja ini perasaan. Nasionalisme adalah perasaan. Lalu bagaimana dengan nalar? Nalar ekonomi misalnya, karena musik juga telah menjadi industri, Jika Lady Gaga menggelar konser di sini dengan harga selangit, apakah akan banyak yang menonton. Pasar Lady Gaga adalah remaja menjelang dewasa, yang berarti uang masih minta orang tua. Apakah orang tua mau menginvestasikan uang jutaan rupiah untuk anaknya menonton Lady Gaga? Ini adalah pertanyaan sepele. Banyak sekali nalar-nalar dan pertanyaan yang lebih menampar perasaan.

Sialnya, hal serupa juga diikuti oleh sejarawan muda JJ. Rizal, ketika mempersoalkan pilihan tokoh yang dijadikan patung maha tinggi itu. Alasannya adalah patung itu tokoh asing, sedangkan Tuban memiliki banyak tokoh penting. Tentu nasionalisme terasa menyenangkan dan membuat dada tergetar. Tetapi, apakah penciptaan patung hanya terbatas oleh prinsip kelokalan? Apakah John Lennon berpikir tentang Liverpool ketika menciptakan Imagine? Rasanya nalar seperti ini tidak akan bisa mewakili siapapun, termasuk orang Tuban itu sendiri.

Satu atau dua hal, patung ini telah berdiri dan semestinya dibiarkan begitu. Tentu tidak usah diadili mana saja perasaan-perasaan yang mengalir menolaknya.  Dan karena perasaan juga mengenal rasa kejam, maka menenggelamkan nalar pun tak masalah. Kita setujui saja patung itu bisa bicara sehingga membahayakan para pahlawan. Pahlawan asing ya lebih terkenal dari pahlawan lokal, begitu kira-kira.

Dan karena kita menikmati kebiasaan ini kita susah bilang jika ini tidak benar. Bahkan masih salah jika ternyata patung ini adalah salah satu dewa dalam komunitas agama tertentu, dan berada di wilayah peribadatan itu. Ke mana nalar? Hilang ditelan perasaan.

Comments

Popular Posts