Pindah Kos

Selama kuliah, aku sudah berpindah kos lima kali, dan sekarang jadi yang ke enam. Berpindah-pindah kos sebenarnya menyenangkan- lingkungan baru, tempat baru, aura baru. Cuma, kadang berpindah kos juga seperti hidup, kadang menyenangkan, kadang nggapleki.

Tersebab ngekos juga harus dianggap sebagai urip ning omah, ben krasan, kos yang seperti lika-liku hidup itu juga harus dijalani dengan lapang dada, kata Duta So7. Jadi, kenapa aku ingin menulis tentang kehidupan di kos? Jawabannya adalah kos adalah ruang dan waktu yang menjadi bagian tak terpisahkan dari semua tulisanku. Ada momen di kos yang menyenangkan hingga aku betah menulis. Ada momen nggapleki hingga aku males membaca dan menulis. 

Yeaa, inilah kos-kosku sejauh ini. 

Dari ke lima tempat, yang ke lima, tempat di mana aku menulis ini, sebenarnya cukup bagus. Maksudku, untuk ruangan 3x4 m, ada wifi, balkon, dapur, jemuran, apa lagi yang kurang? Yap, orangnya! Sejujurnya tidak ada masalah dengan siapapun. Cuma, orang-orangnya tidak bisa membuat nyaman. Terlalu normatif obrolannya. Tidak ada kegairahan untuk bersahabat dan menjalin pertemanan yang akrab. Tentu saja ini bisa aku yang nggapleki, tapi jika aku merasa seperti ini, berarti ada masalah. Namun, masalah yang paling kubenci sebenarnya tentang wawasan lingkungan penghuninya. Menyalakan pompa air sebelum waktunya agar tidak kehabisan jika mandi, berak tidak diguyur, wifi yang serakah, membuang sampah di bak cucian, jalan di lobi pakai sendal (bahkan ruang tv yang bisa buat tiduran), hemm....

Kos ke empat, kuhuni selama dua tahun. tempat yang sangat menyenangkan. Banyak teman, banyak kgembiraan. Luas kamar paling 12 meter persegi atau 3x3m. Sudah ada jemuran dan wifi. Dan yang terpenting, balkon dan ruang tv untuk ngobrol. Aku tidak bisa membayangkan jika tidak ada ruang tv untuk saling bertegur sapa. Selain air yang sempat keruh, tidak ada hal yang menyebalkan di sini. Mungkin cuma masalah parkiran yang langsung ditutup awan. Mungkin itu sebabnya cat motorku mulai kusam padahal sebelumnya selalu klimis meskipun tua.

Kos ke tiga, yang terburuk. Oke, dari segi penampilan, kos ini memang tidak menggairahkan. Ukuran sekitar 2x2, parkiran sempit, lantai lobi yang cukup kotor, dan kadang air sering mati jika dibutuhkan, cukup untuk dijadikan pengalaman. Beruntung aku menjalaninya dengan banyak teman dari jurusan. Enam orang mahasiswa Sastra Inggris, melawan penghuni lama yang kalah jumlah dalam hal berisik. Tentu kami yang memiliki predikat toa bisa menakhlukannya. Seingatku, hari-hari itu cukup menyenangkan dengan diisi PES, Counter Strike, hingga NFS.

Yang ke dua, bukan kos, tapi kontrakan. Bukan kontrakanku, tapi kontrakan sepupu. Semester kedua dengan banyak organisasi yang kuikuti, tugas kuliah yang banyak, ternyata juga masih membuatku bisa pergi jauh hingga ke Gentan, Makam Haji, Sukoharjo. Tidak sampai satu semester sebenarnya aku di sini, tetapi paling tidak ada pengalaman sekitar dua atau tiga bulan di tanah yang tenang, damai.

Nomor satu, the unbelievable Colomadu. Kenapa, karena Colomadu adalah pulau tersendiri yang tidak seperti Solo, jua tidak seperti Karanganyar. Colomadu adalah Colomadu. Kesan pertama tiba di kota tua seperti Solo langsung disambut dengan meyakinkan oleh masyarakat Colomadu yang hangat. Pikirku, ya inilaaah Solo! Bukan cuma warga sekitar yang baik, untuk perkara kamar aku juga dapat yang cukup. Ruangan sekitar 3x3, sangat cukup untuk mahasiswa baru.

Jika kuringkas, dari semua perjalanan dari nomor satu hingga ke lima, ada beberapa kesimpulan menarik yang rupanya benci kupercaya. Tapi apa jadinya jika menulis tidak berani jujur. Dan, ya, seperti kata Pram, ngapain jadi manusia kalau tidak memiliki keberanian. Dan, ya, seperti kata Lord Clover, seseorang benar-benar menjadi seseorang ketika dia berani mengakui kesalahannya dan meminta maaf. Dan, ya, aku tidak butuh siapapun untuk mengajariku meminta maaf. Dan, ya, karena sudah semakin tidak nyambung, berikut kesimpulan-kesimpulan menyebalkan, sad but true, itu:

Pertama, di kos pertama, aku memiliki keluarga. Ternyata itu fakta yang cukup ajaib untuk tidak aku sadari. Betapa konyolnya aku yang sejak kelas tiga SMA tidak serumah dengan keluarga. Apa aku terlena? Nilai burukku lebih kusalahkan kepada organisasi dan kelelahan fisik. Namun yang terpenting, aku menjadi dekat dengan keluarga. Dan itu permulaan yang bagus karena semakin dewasa, dan ya kuliah adalah pintu itu, seseorang bisa saja pergi sangat jauh dari tempat asalnya, termasuk keluarga.

Kos kedua. Tempat yang jauh dari ingar-bingar pada awalnya, dan tetap kalem pada akhirnya meskipun Luwes sekitar tiga lantai di bangun di sana. Saudaraku yang sudah beristri meninggalkan sedikit banyak jejak tentang rumah tangga pasangan muda. Oh, tentu saja itu sangat penting. Secara tidak menejutkan, saudaraku yang cukup pilih-pilih itu memperistri  pekerja salon yang entah bagaimana obrolannya nyambung. See? Meteror Garden is real. Yang penting sama-sama suka dan obrolan yang bagus. Berada di tempat dan kondisi seperti ini membuatku menjadi semacam perenung. Ada banyak bayangan yang muncul, salah satunya bagaimana memerlakukan istri jika latar belakang keilmuan sangat berbeda tajam.

Kos ketiga. Memulai dengan tergesa-gesa, agar urusan kuliah dan organisasi bisa terurus, pindah di lingkungan kampus jadi harus. Hasilnya kos yang sempit, dan segala turunannya yang didapat. Memang harganya murah, tapi apa enakya? Enaknya justru bukan karena kosnya, tapi karena banyak teman yang berkunjung. See? Ternyata malah teman yang membuat tempat jadi nyaman. Bukan air yang tiba-tiba habis saat mandi, bau sampah yang menyelinap dari jendela, juga para penghuni lama yang tidak ramah sama sekali. Ada arti penting menyoal pertemanan. Jatuhlah, maka akan kuangkat.

Kos keempat seperti menghaluskan soal arti, mungkin juga konteksnya. Karena di sini aku berteman bukan cuma dari orang sejurusan. Mungkin di sinilah aku akab bilang, "teman sekos dulu", jika ditanya. Dan itu memang harga yang pantas. Soalnya, hingga sekarang pun grup WA kos ini masih menjadi yang teraktif. Terlepas dari kiriman-kiriman yang terkadang cabul, grup ini menjadi tempat tersendiri untuk mengais info kekinian yang tidak akan didapat dari grup seperti LPM Kentingan.

Kos yang terbaik, yang kelima. Yang terbaik karena aku menemukan posisi merenung terjauhku di sini. Banyak penyesalan yang terungkap. Terkadang emosi-emosi kecil juga keluar. Semua ini berawal dari kamar 3x4 m yang membuatku nyaman untuk membaca. Namun seperti dalih pria-pria Asia, ukuran bukan segalanya. Nyatanya, tidak ada akhir yang bagus untuk narasi lembut di awal setelah keluarga, pasangan, hingga pertemanan. Sekeras apapun kucoba, sulit untuk memaafkan orang yang membuang-buang air dengan sengaja. Mungkin terlepas juga rasa double skeptisku pada orang taat beragama yang kadang kupikir terlalu naif. Padahal, malah aku yang sepertinya terlalu naif ketika membaca God Delusion milik Richard.

Dan, ya, begitulah. Setelah ini, aku akan banyak berpindah-pindah kos. Aku ingin melanjutkan kerja bagus sebagai pencicip kos. Tentu saja agar tidak selamanya. Sebab, aku harus lulus dan punya rumah sendiri.

Berbicara tentang rumah, aku jadi cukup khawatir dengan perjalanan pindah-pindah kos ini yang semakin meruncing menuju kekosongan. Mungkin saja rumah nanti adalah suatu kenihilan. Tidak adar rumah yang ada hanyalah suasana. Pengalaman ruangan besar seperti 3x4 m tidak membuatku bahagia, apakah rumah bisa? Apakah aku pinya kesempatan untuk mencicipi satu, dua, atau tiga? Mungkin waktu ogah menunggu. Seandainya aku punya bisu tentang semua kos-kosan yang telah lalu.

Comments

Popular Posts