Malu Bertanya Mati Kemudian
[Pertanyaan yang harusnya kutanyakan akhirnya kusimpan sendiri.]
Surakarta- Bukan berarti
pengecut ya. Aku selalu berpikir dua kali jika mau bertanya, apakah
pertanyaanku cukup bagus, seperti relevan, mendasar, hingga dalam. Aku cukup
lama berkutat di wilayah itu sebelum kesempatan bertanyaku diserobot orang
lain. Akhirnya, aku hanya berdoa semoga ada yang mewakili pertanyaanku. Jika
tidak, ya gimana lagi. Misuh lah. Jancuk!
Peristiwa nahas ini terjadi lagi hari ini, 24 November 2017 di acara seminar
yang diselenggaraakan Aliansi Jurnalis Independen. Seminar yang menjadi puncak acara Festival
media 2017 ini lalu bertema hoax. Bertugas sebagai pembicara ada Stanley (Ketua Dewan Pers), Idi
Subandy (Praktisi Media), dan Dandy Dwi Laksono
(Wartawan). Materi yang sudah banal sebenarnya. Apalagi
aku cuma kebagian materi milik Stanley, yang sudah kutahu sikapnya lewat
laporan tirto.id.
Namun, ada satu hal yang cukup mengusik pikiranku, yaitu istilah “echo
chamber”. Sehari sebelumnya, Rahadian dari beritagar.id, di festival yang sama,
juga menjelaskan perkara ini. Singkatnya, makhluk ini adalah kondisi di mana
berita dan informasi berjejalan dengan satu ragam saja. Seperti gema di dalam
ruangan yaitu bunyi yang keluar akan diikuti bunyi yang serupa terus menerus.
Sebabnya tak lain tak bukan adalah pengaruh media sosial. Sebuah fitur
berbasis alogaritma memungkinkan warganet berjejaring dengan preferensi yang
sama. Misal kita suka dengan ceramah Riziq Shihab, pilihan yang akan keluar ya
berkutat itu itu saja. Filter semacam ini dikenal dengan istilah “filter
bubble”. Sebagaimana penjelasan Stanley tadi, inilah awal mula “echo chamber”.
Lalu, di sinilah pertanyaanku muncul. Jika
“echo chamber” adalah dampak negatif dari media social atau teknologi,
seharusnya hal ini sudah bisa diatasi sebab manusia masih memegang control pada
teknologi. Apakah dimungkinkan untuk membuat semacam kebijakan pemerintah untuk
menekan pemilik media social misalnya facebook, youtube, twitter, hingga Instagram.
Soalnya, peristiwa ini dialami di seluruh negeri dan masalah ini juga sudah
disadari berbahayanya.
Jika pertanyaan itu berhasil kusampaikan
mungkin Stanley yang akan menjawabnya. Kurang lebih, Stanley imajiner akan
berkata begini: yang pasti, sistem berbasis alogaritma di media social awalnya
ditujukan untuk bisnis semata. Namun seiring perkembangan media sosial yang
kini malah bertugas seperti penyedia berita, yah al ini otomatis terprogram
oleh alogaritma. Memisahkannya tentu sangat teknis, saya tidak bisa
menjawabnya. Nanti saya tanyakan ke Mark Zuckerberg.
Dan untuk masalah kebijakan, tentu kita baru
bisa di wilayah pencegahan dan sosialisasi kepada masyarakat. Emmm, itu ide
yang bagus, nanti saya rapatkan sama rekan-rekan di Dewan Pers. Kalau memang
disepakati, nanti kita hubungi semua pemerintah dan agensi media di seluruh
dunia untuk menekan Facebook, twitter, dll agar merubah sistem bisnis mereka.
Terima kasih mas Inang.
Sama-sama, Pak! Harusnya aku menimpali terima
kasih itu dengan gaya sombong dan mimik muka baru saja menang lotre. Tapi, yah
gimana lagi, pertanyaanku akhirnya kubenamkan di blog busuk ini. Siapa pula
yang mau membacanya. Asyu.
**Aku menemukan jawaban sederhana dan mendasar
mengenai pertanyaanku dari laporan Washington Post tahun lalu (ya, ternyata sudah dimuat tahun lalu) di sini.
Di ujung paragraph, Christine Emba, kolumins dan editor WP menulis
seperti ini: If news outlets spend less
time segmenting and more time presenting the news as straightforwardly as they
can, it’s possible that things could improve — or at least not get worse.
[Setan
Bertanya, Tuhan Menjawab.]
Alkisah, di sebuah negeri yang indah, makmur,
dan serba maju bernama Asyu'urga, sesosok makhluk bernama Setan sedang merenung
di bawah pohon kuldi. Dengan banjir gerutu, dia memikirkan mengapa buah kuldi ini jatuh ke
kepalanya. Mengapa dia tidak terlempar ke atas atau arah lain. Dengan
kecerdasan dan daya kritisnya, pertanyaan ini membuatnya tercengang. Bunyi bel dari alun-alun kota yang menandakan tengah hari seperti isi kepalanya, menggema dari ubun-ubun ke kaki.
Tak butuh waktu lama bagi Setan untuk menyodorkan teori atas kejadian yang dialaminya. Setan bergegas pergi ke kota untuk melaporkan temuannya. Dia yakin sekali bisa menghasilkan penelitian dahsyat soal buah jatuh ini. Maka dari itu dia harus berkonsultasi. Dan dia tahu siapa yang bisa dijadikan tempat untuk bertanya, berharap, hingga berkeluh kesah.
Tak butuh waktu lama bagi Setan untuk menyodorkan teori atas kejadian yang dialaminya. Setan bergegas pergi ke kota untuk melaporkan temuannya. Dia yakin sekali bisa menghasilkan penelitian dahsyat soal buah jatuh ini. Maka dari itu dia harus berkonsultasi. Dan dia tahu siapa yang bisa dijadikan tempat untuk bertanya, berharap, hingga berkeluh kesah.
Ketika hendak memasuki aula tempat di mana
kepala negara memerintah, Setan dihentikan oleh malaikat. Dia diminta mengisi beberapa
blangko dan membersihkan diri sebelum masuk. Setan yang memang tidak sabaran
merasa permintaan itu berbelit-belit lalu jadi agak kesal.
“Hei, Malaikat, saya mau menyampaikan perkara
paling penting yang pernah dipikirkan makhluk hidup. Biarkan aku lewat!”
“Ga bisa, bro, harus ngisi ini dulu. Untuk
mencapai-Nya, kamu harus menguasai ini dulu.”
“Loh, bukankah tugas kepala negara itu tunduk
kepada rakyatnya?”
“Heh, sembarangan kamu!”
“Lah, sekarang gini, buat apa kita merayakan
puja-puji untuk-Nya tapi Dia tidak peduli dengan rakyatnya, yaitu saya. Sebagai
rakyat, saya punya hak untuk diperhatikan dan didengarkan pendapatnya. Ga usah
lah melarang-larang kayak gini.”
“Maaf, bro, memang begini aturannya. Silakan
dipatuhi, kalua tidak ya silakan pergi dari sini.”
Setan tampak gusar. Sebenarnya, mudah saja dia
mengisi blangko lalu membersihkan dirinya, tapi baginya, itu bukan perkara
penting. Tidak cocok untuk era percepatan dalam birokrasi. Dia memang tidak begitu suka dengan aturan-aturan yang sifatnya represif. Dia selalu berkelakuan baik, tetapi tidak segan-segan menolak. Baginya, mengatakan tidak jika memang tidak sesuai akal adalah keharusan. Termasuk hal sepele yang dihadapinya saat ini.
Dari suatu celah antara jendela kaca dan kayu,
Setan tampang sedang diamati. Sikap Setan yang berapi-api, grusa-grusu,
menyebalkan, membuatnya jadi makhluk yang dijauhi. Setan tidak bisa easy going. Terlalu banyak tanya dan susah
diatur.
“Ya sudah, aku panggilkan penjaga kalua kamu
tetap maksa.”
“Biarkan aku masuk!”
Tiba-tiba pintu terbuka. Suaut karisma kuat
yang terasa menekan, menyebar keluar melalui pintu. Suara yang sangat indah
menyapa dua makhluk yang tengah berdebat kusir.
“Oh, Tuan, saya ingin menyampaikan sesuatu pada
Anda.”
“Apakah kamu sudah menuruti semua perintahku?”
“Eh, sebenarnya aku mem…”
“Pertanyaanku sangat sederhana, sudah kamu
lengkapi atau tidak?”
“Belum, Tuan.”
“Nah, kalau gitu kamu salah. Aturan ya aturan.
Kalau kamu tidak patuh, berarti kamu harus dihukum.”
“Begini, Tuan. Saya sebenarnya selalu menaati
aturan yang berlaku. Namun, untuk kali ini, dan juga alasan kenapa saya ke
sini, saya harus menerobos aturan ini untuk menciptakan peraturan yang baru.
Peraturan yang pasti selalu bisa menjadi lebih baik seiring terbit dan
terbenamnya matahari.”
“YA. Aku bisa menerima alasanmu untuk itu.
Tetapi, sebelum aturan yang baru kusetujui, kamu tetap terikat dengan peraturan
yang lama. Jika melanggar, artinya kamu harus dihukum.”
“Tuan, dengan segala hormat, jika itu yang anda
maksud, artinya saya telah mendorong perubahan dalam aturan tadi. Jikalau saya
dihukum, tentu saya bisa diselamatkan oleh aturan yang baru. Bukankah ada
pengadilan di sini?”
“Setan,
aku sudah mengatakan ini dua kali. Untuk ketiga kalinya, aku katakan jika kamu
harus dihukum. Penjaga, buang makhluk ini ke An'arawaka.”
Makhluk-makhluk di sekitar Setan menangkapnya
dan menyeretnya ke daerah slum di
negara ini. Teriakan-teriakan mengenai temuannya di bawah pohon kuldi menarik
perhatian Tuannya. Namun dia terus diseret hingga suaranya tidak terdengar.
“Mohon maaf, Tuan. Sebenarnya apa yang dimaksud
oleh Setan tadi?”
“Sudahlah, itu tidak penting.”
“Baik.”
“Oya satu hal. Tidak ada yang boleh mendekati pohon itu, apalagi memakan buahnya. Jika nanti ada makhluk yang
mendekati pohon itu, buang dia.”
[Tentang
Pertanyaan dan Jawaban yang Ajaib.]
Kemampuan bertanya kali ini harus kutegaskan
sebagai prasyarat pokok manusia yang ingin maju. Setidaknya jika dia menganut
Aristotelian lah. Soalnya, bertanya itu jalan untuk menyingkap yang tak
terlihat. Lah kalau kemampuan menyingkapnya buruk? Njuk piye rek?
Aku jadi teringat nyinyiran Pangeran Siahaan
dalam bukunya Big Bang Theory (kakakku mengoleksi beberapa seri) sewaktu
menyikapi pertanyaan ajaib wartawan. Kala itu, Mourinho sedang pergi ke
Indonesia. Dalam jumpa pers, seorang wartawan bertanya pendapat Mou tentang
sepak bola Indonesia. Ya tentu saja Mou akan menjawabnya bagus-bagus saja.
Masalahnya, apakah Mou paham sepak bola Indonesia dan relevankah pertanyaannya?
Hal ini lalu di-bully habis-habisan
oleh Pang.
Pertanyaan tadi positif, tapi tidak tepat
sasaran. Ini adalah salah satu kesalahan yang sering terjadi di sesi tanya
jawab yang pernah kuikuti. Masalah relevan saja biasanya susah bukan main. Eh,
kadang juga ada yang tidak tepat sasaran.
Maksudku begini, kalau bertanya disepakati
sebagai langkah untuk menyingkap tabir, maka sumber tabir itu juga harus jelas.
Bertanya soal jumlah akun media social di Indonesia kepada Stanley atau Idi
Subandy, lhapo ra gendeng sampeyan?
Atau mungkin bertanya apa yang harus dilakukan
agar bisa sukses/terkenal/kaya juga sering ditanyakan? Ya, tentu. Isinya
seperti itu tapi bentuknya mungkin beda. Misalnya bertanya apa yang bisa dilakukan
agar membuat diri sendiri dan orang lain lebih termotivasi. Itu juga konyol
jika ditanyakan dalam forum seminar. Tanyakan itu pada motivator atau mungkin
psikolog.
Seminar biasanya hanya akan menyediakan waktu
setengah jam untuk sesi tanya jawab. Dengan sesi tanya yang ajaib seperti itu,
kurang lebih 10 menit dihabiskan narasumber untuk menjawab. Soalnya, mereka
harus beropini lebih panjang dalam mengurai pertanyaan tadi. Lha wong bukan kapasitasnya.
Satu hal yang penting, jangan sekali-kali
pernah bertanya pada hal yang sifatnya pribadi misalnya umur, status, asal,
hingga gaji. Itu tidak perlu diketahui dari pertanyaan, tapi dari analisis
saja. Gitu saja ndak isa.
“Tunggu. Kalau bertanya ribet seperti itu,
mendingan aku ga usah tanya deh. Biar orang lain saja, aku yang dengerin.”
Waduhh. Gitu. Ya sudah, semua pertnayaan itu
bagus. Jangan pernah berhenti bertanya. Latihan mengumpulkan keberanian untuk
bertanya itu sudah bagus. Tapi kalua sudah berani ya jangan asal. Nanti bukan cuma
menyebalkan, tapi juga menyesatkan. Seperti ISIS itu kan modalnya keberanian
dalam beragama, akhirnya ya menyesatkan.
Ya sudah aku koreksi. Bertanyalah sambal belajar,
begitu juga sebaliknya. Bertanyalah sebelum bertanya itu dilarang!
gambar: http://bit.ly/2i5B51h
Comments
Post a Comment