Kekerasan Cerita dan Gunanya Berkelompok
Salah satu alasan Homo Sapiens menjadi spesial ketimbang manusia lainnya adalah kemampuan berbahasanya. Ada mamot, macan saber, dan binatang besar lainnya, tapi mengapa Homo Sapiens bisa mengalahkan mereka semua? Jawabnya adalah bahasa!
Bahasa bukan cuma seni pertukaran kode belaka, tapi juga pengembangan cerita yang dibalut imajinasi atau disebut fiksi. Monyet bisa mengatakan awas ada singa. Namun Sapiens bisa mengedit bahasa menjadi "awas ada singa di dekat sungai, cepat pergi dari sini, tinggalkan semua makananmu!".
Seiring kecerdasan yang kian bertambah karena memakan daging, Sapiens berfantasi lebih liar lagi. Mereka menceritakan bahwa matahari adalah yang memberikan kehidupan. Leluhur yang sakti kalau dihormati setelah mati akan mendatangkan kekuatan padanya. Mereka harus berkelompok dengan pemimpin yang tangguh, untuk itu mereka berpolitik, memproduksi cerita-cerita.
Pembuatan fiksi ini bisa dilakukan melalui sau cara paling ampuh: menggosip! Untuk menentukan pemimpin, menggosip adalah konsolidasi wajib. Sapiens menyebarkan desas-desus untuk merangkul banyak orang. Gosip berguna mengikat banyak orang untuk mempercayai cerita-ceritanya.
Jika manusia berfleksi sejenak, maka pemerintahan, agama, tradisi, dan hal-hal mapan lainnya adalah hasil bergosip. Bergosip untuk menggerakkan tujuan tertentu, juga bergosip untuk mengkritisi sesuatu. Gosip berpengaruh besar pada lahirnya sikap kritis.
Belakangan ini, sekelompok sapiens di era modern mempraktikkan gosip dengan cara rendahan. Dua sejoli yang hendak menikah digrebek Sapiens lalu menganiaya hingga menelanjanginya. Sapiens ini telah bergosip dulu sebelumnya. Mereka bercerita jika yang dilakukan itu benar, suci, patut dilakukan. Untuk itu, persekusi boleh dilakukan, atau bahkan wajib!
Dua sejoli yang dituduh ini menolak. Mereka membantah cerita. Namun sayang, Sapiens juga memiliki kemampuan untuk mengedit cerita, maka cerita yang tidak sama dengan cerita yang dipercaya harus diberangus! Persekusi keduanya!
Apakah Sapiens tidak memiliki perasaan hingga tega melakukan penganiayaan? Sebenarnya, Sapiens selamat hingga sekarang juga karena meninggalkan perasaannya. Sapiens memusnahkan Neadhertal dan Erectus karena ini. Tenggang rasa, toleran, atau kemampuan mendengarkan dan memahami perasaan orang lain memang susah.
Lantas, apakah dibenarkan kalau sudah begitu alamiahnya? Ya tidak. Perubahan harus dilakukan. Sapiens yang berdaya jelajah tinggi juga memiliki kemampuan beradaptasi yang luar biasa. Bahkan, Neandhertal yang lebih besar dan kuat di daerah dingin pun bisa mereka takhlukkan. Apalagi cuma soal persekusi. Seperti kata Anies, "masalahnya adalah ke-ber-pi-ha-kan."
Yang dihadapi Sapiens sebenanya adalah kebenaran cerita mereka itu sendiri. Jika mereka menyusun kebenaran melalui cerita, maka kemampuan mengedit cerita bakal mendapat tantangan. Tantangan dari diri sendiri juga dari kelompok.
Apakah Sapiens mampu menemukan kesalahan dalam cerita, kemudian perlukan mengedit cerita jika sudah ditemukan tidak benar?
Apakah Sapiens mampu menemukan kesalahan dalam cerita, kemudian perlukan mengedit cerita jika sudah ditemukan tidak benar?
Jawabannya tentu menuntut kesabaran. Sapiens menggunakan gosip untuk mengakomodir perluasan cerita. Jika ada penemuan kesalahan, tentu saja susah menarik sebuah cerita yang sudah terngiang di kepala bertahun-tahun. Dalam sebuah kelompok, menerima sesuatu yang baru itu susah. Sapiens yang mendapatkan kebenaran ini akan dianggap merusak tatanan. Sebab, berkelompok sudah menjadi ciri khas genus ini. Jika ada yang melanggar cerita, maka orang ini mengancam kelangsungan kelompok tersebut.
Hal inilah yang dilakukan dua sejoli di Tangerang tadi. Mereka melawan cerita yang berkembang bahwa dua orang yang ada di kamar berarti mesum. Ya, tidak bisa, langsung dihajar.
Malahan, Sapiens juga memiliki sifat solidaritas yang tinggi. Kemampuan memproduksi cerita, kemudian menerima, lalu mengedit cerita bisa mendadak nihil jika berada dalam kelompok. Sebab, Sapien hanya akan menggunakan kebenaran kelompok, cerita yang sudah dipercaya sebelumnya. Akibatnya, perspektif individu yang menekankan perasaan tereliminir.
Itulah mengapa perilaku barbar sering terjadi jika Sapiens sedang berkelompok. Yesus dihajar habis-habisan karena hal tersebut. Bayangkan saja jika Sapiens seorang diri menemukan sebuah perilaku menyimpang, apakah akan ada sikap barbar yang dipertunjukkan? Tentu tidak.
Malahan, Ibrahim yang mendapati kebenaran saja tidak berani menghancurkan berhala di depan kelompok. Sebab, Ibrahim paham jika ceritanya tidak akan mudah untuk dicerna.
Kebenaran yang akan ditawarkan Ibrahim juga Yesus adalah kebenaran baru, cerita yang melawan cerita lama. Sapiens yang berkelompok dengan mapan secara alami tentu menolak cerita mereka. Sebab, mereka butuh cerita mereka selalu benar. Jika sekali saja salah, maka Sapiens lainnya bisa tidak akan percaya. Untuk itu, merawat kepercayaan pada cerita itu penting.
Ini juga alasan mengapa Sapiens berpolitik. Sapiens sudah mengenal kepentingan di dalam cerita. Tradisi turun temurun bisa jadi memang cara merawat peninggalan zaman dulu. Namun bisa saja ada sesuatu yang menguntungkan jika tradisi tersebut ada. Misalnya saja kekuasaan dan kekayaan.
Parahnya lagi, Sapiens tidak memiliki kemampuan hidup sendiri. Berkelompok adalah keharusan. Merawat bayi, misalnya, harus membutuhkan seorang dokter jika bayinya sakit, makanan bergizi jika bayinya lapar, bahkan sekolah jika anaknya butuh pendidikan. Untuk itu, cerita tidak akan mudah lepas begitu saja. Kepercayaan sudah diajarkan sebegitu dalamnya sejak dalam kandungan.
Akhirnya, dua sejoli yang dipersekusi tadi hanya bisa menerimanya dengan tangis merana. Sapiens yang mereka hadapi mungkin saja tidak seburuk itu. Mereka seperti itu karena mereka berkelompok. Bukan karena mereka pengecut, tetapi soal leburnya subyek individu jika sudah tidak berada di dalam kelompok. Di taraf ini, mereka hanya akan menjadi anonim nirpikir.
Dan kejadian itu terus berulang-ulang sepanjang masa. Setidaknya sepanjang ada fiksi tentang kebenaran bersama yang dipromotori negara dan agama.
Wahai dua sejoli, maafkanlah Sapiens rendahan ini. Percayalah, kalian sudah mencapai ma'rifat Ibrahim dan Yesus. Semoga pernikahan kalian langgeng!
*Cerita dibangun berdasarkan buku Sapiens karya Yuval Noah Harari dan berita penganiayaan dua sejoli yang dituduh mesum padahal tidak terbukti.
gambar: http://bit.ly/2z2dZjh
Comments
Post a Comment