susahnya menulis

Sejak awal tahun ini aku mengalami krisis finansial. Di bulan ini, misalnya, penelitanku menghabiskan 75 persen dari uang sakuku. Belum lagi untuk biaya kos dan makan. Tentu aku tak kuat hati meminta uang ke ibuku meski dia sangat mampu. Kenapa? Ya karena aku sok-sokan.

Sikap sok ini semakin sok karena aku berusaha mengatasi krisisnya dengan menulis, seperti menulis bisa memperkaya diri saja. Itu kusadari penuh karena aku ogah menerjemahkan, atau meminta pekerjaan menerjemahkan dari seorang teman. Menerjemahkan kurang seksi. Yang lebih seksi itu menulis. Entah esai, cerpen, atau apa pun. Pokoknya menulis.

Masalah segera datang lagi, dan memang beginilah hidup, ya kan. Apa itu? Tulisanku buruk! Aku punya banyak sekali ide, tapi tanpa latihan, tanpa asupan bacaan yang tepat, ide-ide tadi segera mangkrak. Aku tidak tahu cara memperbaikinya, dan seringnya ogah. 

Dengan nafsu menulis demi ratusan ribu uang, mau tak mau aku harus melemaskan tulisanku yang mulai kaku gara-gara skripsi. Dan di sanalah seorang teman, Mblo, mengatakan kalau beritagar.id memberi apresiasi cukup besar, sampai satu juta katanya. Mataku menghijau. Kubuka lamannya untuk mempelajari tulisan yang ada di sana. Oh, damn, Zen Hae, AS Laksana, Fauzi, dll, ternyata rajin menulis di sini. Aku jadi ciut?

IYA. Lebih ciut lagi ketika aku membaca tulisan AS Laksana berjudul Perihal tulisan buruk dan bagaimana memperbaikinya. Ada semacam keakuratan dalam penilaian dia. Aku menulis cukup sering, tapi apakah aku menulis untuk melatih sesuatu secara spesifik? Pernah, aku berlatih menulis dialog lewat tokoh rekaan Ika Waringin Jati.Tapi apakah itu cukup? Tidak!

Dalam menulis esai, aku hampir tidak membutuhkan skill dalam berdialog. Justru monolog dari gema suaraku yang harus keluar dengan jelas. Apakah ini masalah pemilihan ide, gaya, atau apa? AS Laksana bilang begini:
Masalah terbesar dalam penulisan adalah kita tidak mampu mengidentifikasi secara jelas apa aspek-aspek spesifik yang mendasari kemahiran menulis. Jika kita memahami aspek-aspeknya, kita bisa berlatih tiap hari untuk menjadikan diri menguasai kecakapan dalam semua aspek itu.
Jika kuringkas, latihan menulis tidak menekankan pada berapa intensitas latihannya, tapi bagaimana cara berlatihnya. Argumen ini cukup jelas. AS Laksana bilang jika dia setiap hari berlari, itu tidak membuatnya mahir dalam berlari dan pantas ikut olimpiade lari. Lomba lari, atau tujuannya mahir berlari, memiliki aspek spesifiknya sendiri, yaitu kecepatan. Itu berarti, menulis setiap hari tidak akan membuat kita mahir menulis, kecuali kita tahu aspek spesifiknya dan bisa merumuskannya.

Tulisan ini tentu membuatku gelisah. Aku sudah tertinggal cukup jauh untuk memulai latihan spesifik, misalnya diksi, gaya, atau alur bercerita. Padahal, sekarang aku sudah butuh uang. Tunggu! Apakah aku jadi berdosa dengan orienasi ini?

Aku akan menjawabnya dengan berbagai perimbangan, tapi tidak sekarang. Perutku sudah berisik. Aku harus membelanya sebelum otak uring-uringan dengan menyalahkan perut.

Ada dua yang sedang kuhadapi, kecakapan menulis dan krisis finansial. Menulis setiap hari bisa menjadi solusi (seperti yang dirumuskan oleh AS Laksana tentunya). Solusi untuk memperbaiki kecapakan menulis, solusi juga jika ada tulisan yang berhasil dimuat.

Ini sudah tanggal 16, harus ada minimal dua tulisan yang harus dimuat jika ingin bertahan hidup hingga awal bulan. Berani?

Comments

Popular Posts