Ika Waringin Jati #2: Hari Pertama Masuk Sekolah
Malam sudah jatuh. Ika masih asyik membolak-balik halaman novelnya: The Pictures of Dorian Gray. Pembacaan hingga kelewat tengah malam ini juga berarti mengabaikan tugas-tugas yang harus dipersiapkan untuk ospek esok hari. Atau Ika memang sengaja untuk tidak menyiapkannya?
Sambil memandangi langit-langit kamarnya, juga sesekali tersenyum, Ika merencanakan sesuatu yang nakal. Dengan wajah jahatnya, dia bersiap memasuki mimpi dan menghajar semua musuh-musuhnya. Barang kali, musuh baru di SMA harus waspada kepadanya.
Dan ketika bel berbunyi, Ika tepat memasuki kelas yang sudah dipenuhi teman-teman barunya. Tampak juga tiga orang senior yang bertugas untuk ngospek kelasnya. Ika dengan santai masuk lalu menyapa ketiga kakak kelasnya kemudian mencari bangku yang kosong.
"Dik, kalau masuk, biasakan berangkat lebih awal, ya," seru kakak kelasnya yang tampak menemukan bahan untuk membuka percakapan (atau rundungan?).
"Iya, Mbak, makasih. Tadi sempet lupa ruang kelasnya di mana, jadi tepat waktu banget waktu sampai sini."
"Iya, ga papa. Besok harus lebih awal karena sudah tahu ruangannya yaa."
"Iya, Mbak. Makasih. Aku pasti tepat waktu kok."
"Bukan gitu, tepat waktu itu ya sudah harus masuk kelas sebelum waktunya."
"Lah kalau sebelum itu ya bukan tepat waktu, Mbak. Tepat ya tepat, bukan sebelum atau sesudah."
"Iya, tapi maksudnya tepat waktu itu sebelum, biar nanti ga telat."
"Loh, apa hubungannya? Kalau aku masuk tepat waktu ya sudah to. Tidak ada masalah. Tidak ada yang tidak dan tidak ada yang akan jadi tidak karena aku tepat, pas. Gitu."
"Hah, ya sudah kalau gitu. Semuanya, keluarkan tugasnya. Kamu duduk sana. Tugasnya dibuka," kakak kelasnya tampak muram, dia memandangi kedua rekannya dengan kode membubuhkan target.
"Baik semuanya, tugasnya taruh di meja, kakak-kakak akan memeriksanya."
Tugas yang diberikan adalah membawa minuman berupa air mineral kemasan yang berwarna biru, dan tidak boleh dibuka dengan asumsi siswa akan memasukkan semacam pewarna atau semacamnya. Tugas berikutnya, menggambar diri sendiri dan diwarnai dengan cat air. Lalu di bawahnya harus diberi tanda pengenal dari kertas yang transparan dan harus diberi ruang yang bisa ditempelli magnet. Ada juga perintah membawa gorengan yaitu lumpia dengan isi bakso dan mie. Selain itu, tugas tahunan lainnya seperti topi dan selempang yang didesain sedemikian konyolnya.
Semua siswa sudah mengeluarkan tugasnya di atas meja. Ada yang wajahnya cemas kalau-kalau tugasnya salah. Ada juga yang pusing karena tugasnya salah dan beda dari teman-temannya. Ada juga yang santai meskipun mejanya kosong. Yap, dialah Ika!
"Ehm, Dik, tugasmu mana?" tanya kakak kelas yang tadi berdebat soal makna "tepat waktu".
"Aduh maaf, Mbak. Tadi malam saya baca buku, jadi belum sempat ngerjain tugasnya. Lagi pula, pengumumannya kan baru kemarin, jadi kalau ngerjain saya ga akan sempat karena harus membantu Bapak kerja."
"Loh, ga bisa gitu dong, Dik. Namanya tugas ya harus dikerjakan. Itu kewajiban."
"Iya, Mbak, maaf. Saya sadar sesadar-sadarnya kalau apa yang saya lakukan sudah melanggar aturan yang dibuat oleh panitia. Jadi, saya siap kalau harus dihukum. Gitu kan intinya obrolan ini?"
Kakak kelasnya sudah tampak frustasi. Dia memanggil temannya, lalu berdiskusi untuk menentukan hukuman. Dia tidak mengira jika ada siswi yang sama sekali tidak membawa tugasnya. Soalnya, kesalahan kecil misalnya ketahuan melubangi air minum kemasan akan diberi hukuman bernyanyi di depan kelas. Lha kalau tugas saja tidak bawa. Dihukum apa?
"Oke gini, Dik, .... siapa namanya?"
"Ika, Mbak"
"Dik Ika, kamu sekarang pergi ke ruang panitia ya. Nanti ketemu sama Mas Niko, dia ketua panitia. Bilang kalau kamu disuruh ke sana karena ga bawa tugas dan siap untuk dihukum.
Buat yang lainnya, ini jadi pelajaran bersama ya. Tugas, apa pun itu harus dikerjakan. Itu bedanya anak SMP sama anak SMA, rajin dan pantang menyerah, meskipun tugasnya aneh-aneh."
"Maaf, Mbak, tanya, " potong Ika dengan nada yang menggulung suara,"jadi kita harus ngerjain tugas, apa pun itu, meskipun aneh-aneh? Terus, tugas itu sebenarnya buat apa?"
"Tugas itu ya buat menilai kamu itu orang yang berkomitmen apa tidak. Kamu orang yang bertanggung jawab atau tidak."
"Meskipun tugasnya aneh-aneh?"
"Iya dong. Lha kamu pikir teman-teman kamu yang sudah usaha keras itu bagaimana? Sia-sia karena aneh? Ya ada maksudnya lah."
"Iya, kalau itu aku juga kagum sama teman-teman. yang aku tanyakan, tugas yang aneh itu ga masalah?"
"Enggak, Dik, yang penting itu ketulusanmu dan keseriusnmu. Sisanya biar kami yang menilai."
"Lha kalau tugasnya aneh, tidak ada tujuannya, ya mending ga usah ada tugas, Mbak. Kalau ngasih tugas mending yang bermanfaat. Baca buku lalu meresensinya, atau membuat barang berguna dari barang bekas. Itu kan malah bermanfaat, bikin kreatif."
"Duh, Dik, dari tadi maumu ini apa sih. Sudah telat, tugas ga bawa, maumu apa?"bentak kakak kelasnya.
Dari luar jendela, tampak seorang lelaki sedang memperhatikan. Karena penasaran, dia memasuki ruangan. Dialah Niko, si ketua panitia ospek.
"Tadi aku ga telat, Mbak. Aku tepat waktu."sahut Ika dan tidak memperhatikan seseorang memasuki ruangan."
"Ada apa ini? Dari luar berisik banget. Ga tau apa ruang bapak ibu guru ada di seberang kelas ini?' tanya Niko dengan suara tegas yang dibuat-buat.
"Ini, Nik, ada anak baru yang ga bawa tugas sama sekali. Dibilangin ngeyel terus dar tadi. Gatau harus diapain."
"Kenapa ga bawa tugas?"
"Ga sempat, Mas"
"Panggil "Kak", jangan "Mas", kamu ini di sekolah, yang formal kalau ngomong."
"Maaf, Mas, eh, Kak. Tadi sudah dbilangin sama Mbaknya untuk minta hukuman sama Mas, eh Kak. Jadi hukumannya apa?"
Ketiga kakak kelas tadi mendekati Niko dan membisiki situasinya. Dari tadi Ika ngeyel soal tepat waktu dan tugas. Jadi harus diberi hukumanyang berat.
"Gini, Dik, karena kamu tadi ngeyel soal tepat waktu dan tugas, trus kamu juga usul meresensi buku. Sekarang tugasmu adalah meresensi buku dan menulis definisi tepat waktu dan tugas. Waktunya sampai istirahat. Harus tepat waktu, ga boleh sebelum atau sesudah." Ucapan Niko terdengar mantap dan terlihat meberi efek jera. Ketiga kakak tingkat di sebelahnya tampak sumringah.
"Maaf, Mas, eh Kak, saya tidak bisa mengerjakannya, saya takut mendefinisikannya," jawab Ika dengan suara memelas.
"Loh, gimana sih, Dik, itu kan tugas usulanmu sendiri. Katanya minta yang bermanfaat, sudah dikasih malah hati malah minta jantung, maumu apa?"balas Niko penuh kekesalan.
"Jadi gini, Mas, eh kak, saya baru saja baca buku The Picture of Dorian Gray, di situ Oscar Wilde bilang kalau mendefinisikan berarti membatasi. Nah kalau saya definisikan tugas dan tepat waktu, nanti definisinya ga sama punya kakak-kakak. Nanti kalau salah lagi, harus dihukum lagi. Dikasih tugas lagi, tugasnya salah lagi karena ga sama definisiku, begitu terus ga selesei-selesei."
Niko hanya melongo. Ketiga rekannya pergi ke luar kelas. Mungkin teriak-teriak atau berak.
*didedikasikan untuk Oscar Wilde yang mengajari bagaimana cara membuka aib dengan baik dan benar
Sambil memandangi langit-langit kamarnya, juga sesekali tersenyum, Ika merencanakan sesuatu yang nakal. Dengan wajah jahatnya, dia bersiap memasuki mimpi dan menghajar semua musuh-musuhnya. Barang kali, musuh baru di SMA harus waspada kepadanya.
Dan ketika bel berbunyi, Ika tepat memasuki kelas yang sudah dipenuhi teman-teman barunya. Tampak juga tiga orang senior yang bertugas untuk ngospek kelasnya. Ika dengan santai masuk lalu menyapa ketiga kakak kelasnya kemudian mencari bangku yang kosong.
"Dik, kalau masuk, biasakan berangkat lebih awal, ya," seru kakak kelasnya yang tampak menemukan bahan untuk membuka percakapan (atau rundungan?).
"Iya, Mbak, makasih. Tadi sempet lupa ruang kelasnya di mana, jadi tepat waktu banget waktu sampai sini."
"Iya, ga papa. Besok harus lebih awal karena sudah tahu ruangannya yaa."
"Iya, Mbak. Makasih. Aku pasti tepat waktu kok."
"Bukan gitu, tepat waktu itu ya sudah harus masuk kelas sebelum waktunya."
"Lah kalau sebelum itu ya bukan tepat waktu, Mbak. Tepat ya tepat, bukan sebelum atau sesudah."
"Iya, tapi maksudnya tepat waktu itu sebelum, biar nanti ga telat."
"Loh, apa hubungannya? Kalau aku masuk tepat waktu ya sudah to. Tidak ada masalah. Tidak ada yang tidak dan tidak ada yang akan jadi tidak karena aku tepat, pas. Gitu."
"Hah, ya sudah kalau gitu. Semuanya, keluarkan tugasnya. Kamu duduk sana. Tugasnya dibuka," kakak kelasnya tampak muram, dia memandangi kedua rekannya dengan kode membubuhkan target.
"Baik semuanya, tugasnya taruh di meja, kakak-kakak akan memeriksanya."
Tugas yang diberikan adalah membawa minuman berupa air mineral kemasan yang berwarna biru, dan tidak boleh dibuka dengan asumsi siswa akan memasukkan semacam pewarna atau semacamnya. Tugas berikutnya, menggambar diri sendiri dan diwarnai dengan cat air. Lalu di bawahnya harus diberi tanda pengenal dari kertas yang transparan dan harus diberi ruang yang bisa ditempelli magnet. Ada juga perintah membawa gorengan yaitu lumpia dengan isi bakso dan mie. Selain itu, tugas tahunan lainnya seperti topi dan selempang yang didesain sedemikian konyolnya.
Semua siswa sudah mengeluarkan tugasnya di atas meja. Ada yang wajahnya cemas kalau-kalau tugasnya salah. Ada juga yang pusing karena tugasnya salah dan beda dari teman-temannya. Ada juga yang santai meskipun mejanya kosong. Yap, dialah Ika!
"Ehm, Dik, tugasmu mana?" tanya kakak kelas yang tadi berdebat soal makna "tepat waktu".
"Aduh maaf, Mbak. Tadi malam saya baca buku, jadi belum sempat ngerjain tugasnya. Lagi pula, pengumumannya kan baru kemarin, jadi kalau ngerjain saya ga akan sempat karena harus membantu Bapak kerja."
"Loh, ga bisa gitu dong, Dik. Namanya tugas ya harus dikerjakan. Itu kewajiban."
"Iya, Mbak, maaf. Saya sadar sesadar-sadarnya kalau apa yang saya lakukan sudah melanggar aturan yang dibuat oleh panitia. Jadi, saya siap kalau harus dihukum. Gitu kan intinya obrolan ini?"
Kakak kelasnya sudah tampak frustasi. Dia memanggil temannya, lalu berdiskusi untuk menentukan hukuman. Dia tidak mengira jika ada siswi yang sama sekali tidak membawa tugasnya. Soalnya, kesalahan kecil misalnya ketahuan melubangi air minum kemasan akan diberi hukuman bernyanyi di depan kelas. Lha kalau tugas saja tidak bawa. Dihukum apa?
"Oke gini, Dik, .... siapa namanya?"
"Ika, Mbak"
"Dik Ika, kamu sekarang pergi ke ruang panitia ya. Nanti ketemu sama Mas Niko, dia ketua panitia. Bilang kalau kamu disuruh ke sana karena ga bawa tugas dan siap untuk dihukum.
Buat yang lainnya, ini jadi pelajaran bersama ya. Tugas, apa pun itu harus dikerjakan. Itu bedanya anak SMP sama anak SMA, rajin dan pantang menyerah, meskipun tugasnya aneh-aneh."
"Maaf, Mbak, tanya, " potong Ika dengan nada yang menggulung suara,"jadi kita harus ngerjain tugas, apa pun itu, meskipun aneh-aneh? Terus, tugas itu sebenarnya buat apa?"
"Tugas itu ya buat menilai kamu itu orang yang berkomitmen apa tidak. Kamu orang yang bertanggung jawab atau tidak."
"Meskipun tugasnya aneh-aneh?"
"Iya dong. Lha kamu pikir teman-teman kamu yang sudah usaha keras itu bagaimana? Sia-sia karena aneh? Ya ada maksudnya lah."
"Iya, kalau itu aku juga kagum sama teman-teman. yang aku tanyakan, tugas yang aneh itu ga masalah?"
"Enggak, Dik, yang penting itu ketulusanmu dan keseriusnmu. Sisanya biar kami yang menilai."
"Lha kalau tugasnya aneh, tidak ada tujuannya, ya mending ga usah ada tugas, Mbak. Kalau ngasih tugas mending yang bermanfaat. Baca buku lalu meresensinya, atau membuat barang berguna dari barang bekas. Itu kan malah bermanfaat, bikin kreatif."
"Duh, Dik, dari tadi maumu ini apa sih. Sudah telat, tugas ga bawa, maumu apa?"bentak kakak kelasnya.
Dari luar jendela, tampak seorang lelaki sedang memperhatikan. Karena penasaran, dia memasuki ruangan. Dialah Niko, si ketua panitia ospek.
"Tadi aku ga telat, Mbak. Aku tepat waktu."sahut Ika dan tidak memperhatikan seseorang memasuki ruangan."
"Ada apa ini? Dari luar berisik banget. Ga tau apa ruang bapak ibu guru ada di seberang kelas ini?' tanya Niko dengan suara tegas yang dibuat-buat.
"Ini, Nik, ada anak baru yang ga bawa tugas sama sekali. Dibilangin ngeyel terus dar tadi. Gatau harus diapain."
"Kenapa ga bawa tugas?"
"Ga sempat, Mas"
"Panggil "Kak", jangan "Mas", kamu ini di sekolah, yang formal kalau ngomong."
"Maaf, Mas, eh, Kak. Tadi sudah dbilangin sama Mbaknya untuk minta hukuman sama Mas, eh Kak. Jadi hukumannya apa?"
Ketiga kakak kelas tadi mendekati Niko dan membisiki situasinya. Dari tadi Ika ngeyel soal tepat waktu dan tugas. Jadi harus diberi hukumanyang berat.
"Gini, Dik, karena kamu tadi ngeyel soal tepat waktu dan tugas, trus kamu juga usul meresensi buku. Sekarang tugasmu adalah meresensi buku dan menulis definisi tepat waktu dan tugas. Waktunya sampai istirahat. Harus tepat waktu, ga boleh sebelum atau sesudah." Ucapan Niko terdengar mantap dan terlihat meberi efek jera. Ketiga kakak tingkat di sebelahnya tampak sumringah.
"Maaf, Mas, eh Kak, saya tidak bisa mengerjakannya, saya takut mendefinisikannya," jawab Ika dengan suara memelas.
"Loh, gimana sih, Dik, itu kan tugas usulanmu sendiri. Katanya minta yang bermanfaat, sudah dikasih malah hati malah minta jantung, maumu apa?"balas Niko penuh kekesalan.
"Jadi gini, Mas, eh kak, saya baru saja baca buku The Picture of Dorian Gray, di situ Oscar Wilde bilang kalau mendefinisikan berarti membatasi. Nah kalau saya definisikan tugas dan tepat waktu, nanti definisinya ga sama punya kakak-kakak. Nanti kalau salah lagi, harus dihukum lagi. Dikasih tugas lagi, tugasnya salah lagi karena ga sama definisiku, begitu terus ga selesei-selesei."
Niko hanya melongo. Ketiga rekannya pergi ke luar kelas. Mungkin teriak-teriak atau berak.
*didedikasikan untuk Oscar Wilde yang mengajari bagaimana cara membuka aib dengan baik dan benar
Comments
Post a Comment