Rumah untuk Pulang



Beberapa waktu yang lalu aku menyaksikan Coco, film Disney terbaru yang sangat impresif. Lebih dewasa sekaligus lebih anak-anak. Entahlah, aku tidak tahu bagaimana mengucapkannya. Pasalnya, premis mengejar impian yang dibenturkan dengan doktrin keluarga sepatutnya dilempar untuk menjadi seperti Dead Poet Society, Into the Wild, atau mungkin Pursuit of Happyness (?). Tapi Coco tidak. Dia membuatnya lebih intim dan jauh dari kegundahan yang depresif.

Konflik batin didasarkan pada pilihan kembali pada keluarga atau meneruskan karir agaknya amat picisan. Coco memberi tambahan, kembali kepada keluarga dan menanggalkan cita-cita atau mati. Si bocah pemimpi menolak. Dia memilih karir dan mencari “suaka” dari idolanya agar bisa terus hidup. Di tengah, dia menemukan seorang rekan (ayah Coco). Berbeda dengannya, si rekan malah memilih menanggalkan segalanya agar bisa kembali ke keluarga, kembali pulang, atau mati.

Secara konsep, hitung-hitungan tadi sangat menarik. Dan, aku lebih tertarik lagi dengan sisipan yang kedua, mencari beragam cara agar bisa kembali pulang. Selain kematian yang mengancam jika tidak pulang, tentu harus ada pertanyaan yang lebih mencemaskan dari kematian. Saat ini, kecemasanku menghasilkan pikiran berikut: Apa yang tersisa dari kematian atau orang yang tidak pulang?

Terlalu banyak manusia yang mati, dan kita tidak bisa mengingat semuanya. Untuk mempermudahnya, kita berikan nama. Untuk memudahkannya, kita mengenal konsep kerinduan. Lalu mengendap dalam media dan memancar jika diperlukan. Dan yang paling terang dari semua itu, paling berisik dan paling berbahaya, adalah rumah.

Rumah adalah dasar dari kerinduan. Boleh orang membual bahwa rumah itu suasana, tapi bagiku sama saja. Jendela, lantai, kamar mandi, dapur, kasur, hingga piring memancarkan kenangan, kerinduan. Sangat tidak beruntung jika ada orang yang tidak memiliki kerinduan akan rumah. Dan bagi masyarakat Indonesia, hal ini sangat mustahil karena semua orang ingin membangun rumah. Dan untuk itulah aku menulis ini. Aku ingin mempermasalahkan rumah, pulang, dan mungkin saja kerinduan.

Ketika membaca Sapiens, aku sadar bahwa ternyata umat manusia baru sebentar saja seenaknya tinggal di bumi. Tepat di waktu ini, manusia telah mencapai fase percepatan yang sangat drastis di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Cukup menantang untuk membayangkan 50 atau bahkan 100 tahun kehidupan manusia mendatang.

Di bidang astronomi, penjelajahan ke planet mirip bumi terus diupayakan. Di bidang mikrobiologi (atau juga kesehatan), ada juga yang mengupayakan agar manusia bisa hidup selamanya. Di bidang sosial, yang paling pelik, ada bibit-bibit fasis yang terus merangsang konflik. 100 tahun kemudian, mungkin bumi akan berwarna merah muda. Entahlah.

Semua hal di atas kutarik ke rumah. Apakah bumi masih bisa disebut rumah? Jika manusia immortal, berapa banyak rumah yang dibutuhkan untuk memenuhi permintaan? Jika manusia pada fasis, berapa lama konflik atas nama “rumah” berlangsung?

Ternyata, ada kerinduan yang bersembunyi dari pelbagai masalah tadi. Kita bermusuhan karena rumah—sudah meliputi segala identitas yang melekat. Kita tidak ingin mati karena rumah—rindu yang tidak akan pernah ingin diputus. Kita mencari planet lain karena rumah—tempat baru untuk membangun rumah.

Aku hampir tidak mungkin, dan tidak berhak, menyalahkan perkembangan umat manusia. Tetapi, aku ingin bilang bahwa segala hal baik dan buruk yang akan kita capai berasal dari rumah. Ini terang belaka jika semua konflik terjadi karena manusia tidak bisa menjadi tuan rumah atau tamu yang baik.

Setan diusir dari rumah karena tidak mau bersikap baik dengan si anak baru. Si anak baru diusir dari rumah karena dia bertingkah seenaknya. Bahkan, Tuhan pun telah menjanjikan dua rumah kepada siapa saja yang layak mendapatkannya. Rumah benar-benar awal dan akhir. Jadi, kesimpulan dari semua hal rumah dan kerinduan ini adalah perkara pulang.

Jalan yang sedang kita tapaki adalah jalan pulang karena kita sedang jauh dan merindukan rumah. Kita terburu-buru ingin sampai. Padahal rindu bekerja dengan perintah waktu. Akhirnya kita mengada-ada soal obsesi kerinduan. Saling klaim atas kerinduan ujungnya juga tak mengantar untuk pulang. Hanya pertikaian. Benar-benar payah.

Namun, setidaknya kita beruntung tidak menjadi malaikat yang terus-terusan di rumah. Barangkali, malaikat tidak mengenal konsep rindu. Tak ada rindu berarti tak ada nafsu. Tak ada sesuatu yang bisa dijadikan alasan untuk pulang. Kemudian kita bertanya, apa menariknya hidup seperti itu?

Lantas, apa yang terjadi jika pada akhirnya kita telah pulang? Apa yang kita lakukan jika sudah sampai rumah?

Pada akhirnya kita ingin dikenang. Kita ingin dirindukan. Meski yang terjadi adalah selama ini kita sedang merindukan rindu itu. Kita seperti ayah Coco yang ingin pulang dan hidup selamanya karena berhasil terus dikenang. Kita seperti si pemimpi yang mencari rumah baru walau akhrinya tak memungkiri keintiman rumah asal. Kita seperti Coco yang lapuk menahan ingatan akan identitas ayahnya, sambil menderita menerima imaji yang diidamkan.








gambar: http://bit.ly/2jbY9bk

Comments

Popular Posts